Namaku Santi, aku seorang mahasiswa Tingkat akhir disalah satu Universitas Swasta di Kota Bandung. Tuntutan tugas akhir yang menumpuk, membuatku seringkali begadang dan harus pulang malam. Terkadang aku wara wiri ke berbagai tempat untuk mencari bahan skripsi. Seperti malam ini, aku harus mendatangi rumah dosen yang tinggal disekitaran Bandung Barat. Sebenarnya, kondisi tubuhku hari ini kurang sehat, tapi karena sudah membuat janji temu dengan dosen pembimbing, akhirnya aku pun memaksakan diri untuk pergi.
Aku melirik kearah jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 7 malam. Rintik gerimis perlahan membasahi pepohonan. Mengingat cuaca yang tidak memungkinkan untuk mengendarai motor, akhirnya aku pun memutuskan untuk memesan taksi online.
Tak lama kemudian taksi yang ku pesan datang. Aku pun segera naik dengan membawa sebundel map besar berisi draft skripsi yang akan direvisi.
"Sendirian neng?" tanya sopir taksi itu.
"Iya pak..." jawabku seraya merapikan duduk "Pak agak cepetan ya! Soalnya saya janjian dengan Dosen saya jam8! Nggak enak kalau bertamu terlalu malam!"
"Oh iya siap Neng! 20 Menitan sampai lah!" lalu mobilpun segera melaju ke tempat tujuan kami.
30 menit kemudian kami pun tiba ditempat tujuan. Sebuah area perumahan yang cukup terpencil. Jarak antara rumah satu dan lainnya agak berjauhan. Penerangan didaerah itu juga agak redup. Sehingga menimbulkan aura yang cukup menyeramkan.
"Neng kalau sesuai titik, lokasi rumahnya itu yang didepan!" Ujar sopir taksi itu seraya menunjuk pada rumah Tua yang Terletak diPojok perumahan.
Aku melirik ke arah nomor rumah yang tertera dipagar, 39B. Aku pun mencocokkan dengan alamat rumah yang dikirim oleh Fathir temanku. "Iya pak! Bener yang itu!"
Lalu sopir itu pun memarkirkan mobilnya tepat didepan rumah Tua itu.
"Makasih ya Pak...."
"Sama-sama Neng!" Setelah selesai melakukan transaksi, sopir taksi itu pun meninggalkanku.
***
Dihadapanku nampak berdiri bangunan rumah yang cukup besar, namun catnya sudah usang. Lampu dirumah itu nampak redup. Dihalamannya terdapat banyak pepohonan rimbun. Rumah tua yang tidak terawat dengan baik, sehingga terlihat seram dari luar.
Sedikit rasa takut menyergap pikiranku. Tapi segera kualihkan, mengingat tujuan awalku untuk bisa segera lulus dan wisuda!
Yuk semangat Yuk! bisiku dalam hati.
Aku pun melangkah mendekati pagar. Ku tekan bel rumahnya beberapa kali, namun tampak hening. Aku memastikan kembali alamat rumah pak Ridwan di chat yang dikirimkan oleh Fathir teman kampusku. Dia adalah satu-satunya mahasiswa yang pernah berkunjung ke rumah Pak Ridwan.Â
Di Chat tertulis Perum Kencana Nomor 5. Aku melihat nomor rumah yang tertera ditembok depan rumah Tua itu. Perum Kencana Nomor 5. Alamat yang sama dengan yang dikirim Fathir. Â
'Ehm, tapi kenapa keliatan sepi kayak nggak ada penghuninya ya'
Sebenarnya Aku bisa saja menanyakan langsung alamat rumahnya ke Pak Ridwan, namun beliau adalah dosen yang terkenal tegas dan tidak suka berbasa-basi. Bahkan saat beliau membuat janji temu, beliau hanya bicara singkat "Nanti sore ke rumah bapak!" tanpa menyebutkan alamat rumahnya dimana. Sehingga terpaksa aku mencari info dari teman-teman kampus.
Aku pun mencoba mengetuk-ngetuk pagar rumah itu.Â
"Assalamualaikum.... Permisi...."
Dan akhirnya  dari kejauhan muncul seorang wanita paruh baya mengenakan baju putih dengan rambut beruban menjuntai sepinggang. Wanita itu pun berjalan mendekat kearahku. Raut wajahnya nampak pucat.
'Apa mungkin itu istri Pak Ridwan ya?' tebakku dalam hati.
"Siapa?" tanya ibu itu singkat.
"Maaf... ini rumahnya pak Ridwan?"
Ibu itu mengangguk tanpa ekspresi.
"Saya Santi Bu Mahasiswanya! Saya udah buat janji temu dengan Bapak!"
Tanpa ekspresi ibu itu membukakan pintu pagar, "Masuk!"
"Oh ya Bu, makasih..." Aku pun mengikuti langkah ibu itu, lalu masuk ke dalam rumahnya.
Ruangan yang tampak usang dari luar, namun tampak cukup tertata didalamnya. Terlihat beberapa perabotan kuno, lukisan klasik, serta sepasang sofa tua berwarna hijau.Â
"Duduk!"Â
Seraya duduk aku menjawab "Oh ya Bu makasih, Ehm, Bapaknya ada Bu?" Tanyaku.
"Tunggu...." jawabnya seraya berjalan ke arah ruangan lain.
"Oh iya, Bu...."
Mataku menjelajahi seisi ruangan. Tampak beberapa foto keluarga terpampang. Ternyata dugaanku benar, ibu yang tadi kutemui adalah istrinya pak Ridwan. Tadinya aku ragu, karena Sikapnya sangat aneh dan kaku, raut wajahnya juga nampak sangat pucat.
"Apa beliau sedang sakit ya..... atau....?Ah udahlah jangan mikir yang aneh-aneh!"Â
Aku mencoba mengendalikan pikiranku agar tetap tenang.
Hampir 30 menit aku menunggu diruangan itu namun Pak Ridwan tak kunjung keluar. Aku merasa canggung berada sendirian diruangan kosong yang auranya sangat menyeramkan itu.
Apa istrinya pak Ridwan tadi, tidak memberi tahunya kalau aku datang ya?
Lalu aku pun memutuskan untuk menghubungi Pak Ridwan. Aku merogoh Hpku didalam tas. Ada beberapa notif pesan yang masuk. Namun belum sempat aku membukanya, Ibu tadi kembali datang menghampiriku. Kali ini ia tampak membawakan segelas minuman.
"Minum..." ujarnya seraya menyodorkan secangkir minuman yang nampak seperti sirup berwarna merah. Aku langsung menyanggahnya.
"Oh ya makasih Bu!" Aku menyeruput sedikit. Ada aroma bunga dalam minuman itu yang asing bagiku. Entah sirup atau teh jenis apa, rasanya sangat aneh. Ibu itu terus memperhatikanku, membuatku semakin gugup. Kucoba mencairkan suasana dengan membuka pembicaraan "Enak banget bu tehnya!" ujarku basa basi.
"Habiskan..." jawabnya seraya menatapku lekat.
"Oh ya Bu makasih!" Kuteguk habis minuman itu demi menghormati tuan rumah, namun saat selesai meneguknya, aku merasa mual karena bau aneh yang ditimbulkan dari minuman itu.Â
'Benar-benar minuman teraneh yang pernah aku minum. Baunya seperti bau bunga busuk'
"Kenapa?" Ibu itu menanyakan ekspresiku yang berubah setelah meneguk minuman yang ia suguhkan.Â
"Eee, nggak ko bu, nggak apa-apa?" kucoba menyembunyikan rasa mual.
"Enak?"
"Iya bu, enak... enak... ini teh apa ya bu?"
Ibu itu tidak menjawab, ia malah tersenyum lebar dengan mata yang tak berkedip. Senyuman yang sedikit membuat bulu kudukku berdiri. Â
Hening tercipta diantara kami. Merasa semakin tak nyaman, aku pun ingin segera menyelesaikan urusanku..
"Oh ya maaf Bu, Pak Ridwannya ada?"
Alih-alih menjawab pertanyaanku. Ia malah tersenyum. Senyum yang makin lama makin melebar. Matanya kosong namun memandangku dengan tajam, Ia tak berkedip sedikitpun.
DEG DEG DEG
Tiba-tiba aku merasa ada yang tidak beres. Aku mulai ketakutan, melihat sikap si ibu yang semakin aneh.
"Bu... Bu... I...bu ke... kenapa??" tanyaku dengan gemetar
Si ibu tak menjawab, kali ini ia tertawa terkekeh-kekeh.
"HiHiHiHiHiHiHiHi!!!"
Spontan aku bangkit dari duduk, mencoba untuk pergi meninggalkan ruangan itu. Namun saat aku melangkah, kakiku terasa begitu berat.
"HIHIHIHIHI.......HIHIHIHIHIHI......." Suara ibu itu semakin lama semakin keras.
Tubuhku terasa sangat kaku, aku ingin berteriak namun suara tak bisa keluar sedikitpun. Peluh membasahi keningku. Â
'Ya Tuhan, Tolong aku!!!'Â
Aku mulai melantunkan doa-doa yang ku ingat. Dalam sepersekian detik akhirnya aku bisa kembali menggerakkan tubuhku, meski tak dipungkiri rasanya otot-ototku begitu berat untuk melangkah dan kakiku terseok seok dilantai. Tak kutengok lagi wajah ibu itu, bahkan tak ku pedulikan sebundel skripsi yang ku tinggalkan di meja. Yang kupikirkan hanya satu, Â Aku harus lekas pergi menjauh, sejauh-jauhnya dari tempat itu!
BRAKKKKKK
Kubanting pintu pagar rumah itu dan berlari keluar sekencangnya. Napasku tidak beraturan. Sekujur tubuhku gemetaran. Aku benar-benar ketakutan. Meski sudah berlari menjauh suara cekikikan ibu itu masih terdengar jelas. Aku pun terus melantunkan  doa-doa yang ku ingat, untuk meredam rasa takut.
***
Sampai jarak semakin menjauh dan suara cekikikan itu tak terdengar lagi, aku pun berhenti sejenak. ku coba mengatur napasku yang terengah-engah. Ku ambil hp yang disimpan di dalam tas ransel yang sejak tadi ku gendong. Untungnya meski berkas skripsiku tertinggal di rumah itu, tas ranselku tetap ku bawa. Kalau semua tertinggal, mungkin aku tidak bisa pulang.Â
'mengerikan jika itu sampai terjadi'
 Lalu Aku berniat menghubungi Fathir dan memintanya menjemputku. Namun saat ku buka layar HP, sebuah  Pesan whatssapp masuk.  Tertera nama Pengirim Pak Ridwan. Aku langsung membacanya.
Santi, kenapa belum datang?"
Ku putuskan langsung menelponnya. Tak lama telpon pun langsung terhubung.
"Hallo pak...."
"Ya, halo... Santi kamu dimana? Saya sudah tunggu kamu daritadi!"
"Ehm, maaf pak saya daritadi juga udah nungguin bapak dirumah, tapi ehm... bapak nggak ada..."
"Loh, Rumah? Rumah yang mana?"
"Ehm, saya ke daerah Perum Kencana pak!"
"Kencana?" Pak Ridwan terdengar bingung "Kamu dapat alamat saya darimana?"
"Dari Fathir pak!"
"Saya udah lama pindah dari situ! Sekitar setahun lalu! Setelah istri saya meninggal!"
"Apa Pak? Ja... Jadi.... Rumah itu?" Â
 "Sekarang rumah itu kosong! Nggak ada penghuni!"
"APA PAK??? Astaga???"
"Kenapa Kamu Kaget Santi?"
 'YA TUHAN...Jadi Istri pak Ridwan sudah lama meninggal?? Dan yang tadi di rumah itu? Siapa?"
Tubuhku rasanya semakin lemas. Keringat dingin mengucur dipelipisku. Pandanganku rasanya kosong. Rasa takut yang amat sangat membuatku lunglai tak berdaya. Semua pertanyaan berkecamuk dipikiranku. Perlahan kuberanikan diri menoleh kearah rumah tua yang sudah jauh kutinggalkan. Dari kejauhan masih Tampak bayangan wanita tua. Ia terlihat melambaikan tangannya. Kakinya tak menapak ditanah.
'YA TUHAN'
Seketika semua tampak buram.
"Santi.... Haloooo Santi!! Kamu masih disana?"
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H