Latihan paduan suara sore ini terasa berat sekali. Suara gospel yang dinyanyikan terdengar lebih mirip gumaman. Wajah-wajah terlihat tidak bersemangat. Lagu yang kami latih untuk ibadah besok memang sukar. Ketukannya berubah di tiap bagian lagu.
Aku berdiri di barisan, rasanya sudah mau pecah kepalaku. Belum lagi udara Jogja yang terasa lembap akhir-akhir ini. Sudah tiga hari ini aku flu berat. Ingus meler sedari tadi. Ingin segera pulang ke asrama, minum secangkir lemon hangat lalu merebahkan kepala.
Namun, itu harus kutahan beberapa jam lagi. Aku harus tinggal di gereja setelah latihan ini. Aku sudah berjanji pada Ibu Rosana untuk membereskan buket bunga yang tak rapi di sekitar mimbar. Bisa ngamuk dia kalau belum aku kerjakan. Sementara besok sudah Minggu.
***
"Bernyanyilah dengan hati!"
Konsentrasi kami buyar mendengar suara berat yang datang dari samping mimbar. Bapa Adrian, si pemilik suara, berjalan menghampiri barisan choir, lalu berdiri tepat di hadapan kami. Wajahnya tampak segar dengan setelan hitam baju pastor melekat di badannya yang masih tegap di usianya menjelang setengah abad.
"Bernyanyilah seperti untuk orang yang paling kalian kasihi," dia melanjutkan dengan gestur membaca puisi cinta. Sekilas dia memberi kode kepada Daniel yang duduk di balik piano untuk memulai bagian refrein lagu.
"Tuhan Maha Pengasih. Ya, Tuhan, ampunilah."
Sebaris kalimat pendek dinyanyikannya. Seketika menghipnotis para choir yang diam mematung. Suaranya yang berat dan bergetar itu, sudah berulang kali kami dengar di setiap ibadah, namun tetapi masih saja memesona di gendang telinga kami. Terlebih buatku, merambat ke setiap urat nadi dan berhenti tepat di inti jantung. Menciptakan debar asing yang terasa hangat.
***
Hampir pukul lima sore, latihan akhirnya selesai.