Penggunaan internet dalam kegiatan politik semakin berkembang di Indonesia. Setidaknya ada dua faktor utama yang mendasari fenomena ini. Pertama, sistem politik Indonesia yang semakin terbuka dan demokratis. Sejak reformasi, kebebasan pers serta hak untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan pendapat telah mengalami peningkatan. Akibatnya, setiap individu pada era reformasi ini memiliki kebebasan untuk memanfaatkan dunia maya sebagai sarana untuk menyampaikan gagasan, ide, pemikiran, bahkan kritik atau tekanan terhadap pemerintah atau pihak berwenang. Kondisi ini menciptakan ruang publik di dunia maya, yang menjadikan penguatan demokrasi tidak hanya terjadi secara langsung, tetapi juga di ruang siber. Faktor kedua adalah kemajuan dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang mempengaruhi media massa. Perkembangan pesat ini memberikan akses yang lebih mudah bagi masyarakat untuk memperoleh informasi. Masyarakat kini lebih terbiasa menggunakan teknologi mesin pencari seperti Google sebagai sumber utama informasi mereka. Akses informasi tentang lingkungan sekitar menjadi lebih mudah karena banyak media cetak, televisi, dan radio yang kini terintegrasi secara daring, sehingga informasi, termasuk yang bersifat politik, lebih mudah diakses oleh publik (Heryanto, 2011: 154).
Komunikasi politik yang dilakukan melalui media sosial dapat membentuk persepsi di kalangan masyarakat, terutama terkait persepsi politik. Persepsi politik berkaitan dengan cara pandang terhadap suatu objek tertentu, baik berupa informasi, keterangan, maupun pandangan tentang situasi politik dengan cara tertentu. Konten media sosial yang diterima oleh pengguna dengan latar belakang dan pola pikir yang beragam akan menghasilkan persepsi yang berbeda-beda. Di negara-negara dengan tingkat partisipasi politik yang rendah, masyarakat cenderung melihat konten politik di media sosial sebagai sesuatu yang biasa saja dan menganggap bahwa kampanye politik yang dilakukan oleh para kandidat tidak banyak memengaruhi perilaku politik mereka dalam pemilu. Kelompok ini umumnya memiliki tingkat literasi politik yang rendah dan masih berkeyakinan bahwa strategi paling efektif untuk memenangkan pemilu adalah melalui praktik politik uang. Hal ini juga diperkuat oleh kondisi ekonomi yang sulit dan tingginya biaya hidup yang masih dirasakan oleh banyak keluarga pasca pandemi, karena pemulihan ekonomi yang belum sepenuhnya tuntas.
Sebaliknya, masyarakat dengan tingkat partisipasi politik menengah memandang bahwa konten di media sosial memiliki keterkaitan yang cukup signifikan dengan pelaksanaan pemilu. Pertama, mereka meyakini bahwa konten politik membantu meningkatkan pengetahuan tentang profil kandidat, kinerja, serta visi-misi yang diusung. Konten semacam ini dianggap sebagai sarana pengenalan bagi generasi milenial dalam menentukan pilihan politik mereka. Namun, kelompok ini juga sadar bahwa konten politik seringkali diwarnai dengan unsur SARA, ujaran kebencian, bahkan fitnah terhadap lawan politik. Oleh karena itu, masyarakat beranggapan bahwa konten politik sebagai dasar untuk memilih dalam pemilu perlu disaring dengan cermat, karena konten semacam ini berpotensi merusak tatanan sosial secara lebih luas. Pendapat ini sejalan dengan pandangan Almond dan Verba (1984), yang menyoroti adanya bentuk orientasi tertentu dalam budaya politik, baik dari sisi kognitif, afeksi, maupun evaluasi, dalam menilai konten-konten yang ada di media sosial berbasis daring.
Di tingkat partisipasi politik yang tinggi, masyarakat memandang bahwa dunia berbasis internet telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, dan komunikasi politik melalui media sosial dianggap sangat penting dalam mewujudkan pemilu yang demokratis. Kelompok masyarakat dengan budaya partisipasi aktif ini juga percaya bahwa penyebaran informasi dan edukasi politik melalui media sosial memiliki biaya yang relatif rendah dan lebih efektif dalam menjangkau berbagai kalangan, mulai dari ibu rumah tangga hingga para akademisi. Pada tingkat partisipasi ini, masyarakat meyakini bahwa konten bernuansa ujaran kebencian atau hoaks terkait politik sudah semakin jarang digunakan karena adanya regulasi hukum yang mengaturnya, serta peningkatan kesadaran masyarakat yang kini lebih kritis dalam menyikapi informasi politik dan tidak lagi menerima konten secara mentah-mentah.
2.2 Kampanye Politik
Kampanye politik adalah aktivitas komunikasi yang berisi pesan-pesan politik yang disampaikan oleh komunikator politik melalui berbagai media, dengan tujuan mempengaruhi, membangun, dan membentuk opini publik. Kampanye politik merupakan bagian dari strategi komunikasi politik untuk meraih dukungan suara masyarakat dan pada akhirnya mencapai posisi kekuasaan. Sejalan dengan itu, Michael Rush dan Phillip Althoff (dalam Nora, 2014) mendefinisikan komunikasi politik sebagai proses di mana informasi politik yang relevan disampaikan dari satu bagian sistem politik ke bagian lainnya, serta antara sistem sosial dan sistem politik, dengan tujuan memperoleh kekuasaan atau mempengaruhi kebijakan.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa komunikasi politik dalam pemilihan legislatif bertujuan untuk membentuk citra positif dan membangun opini publik, sehingga dapat melibatkan masyarakat dalam proses pemilu dan meraih kemenangan. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan perencanaan strategi kampanye politik yang matang. Secara teori, komunikasi politik setidaknya bertujuan untuk membentuk opini publik, melibatkan masyarakat dalam pengambilan kebijakan, dan memenangkan pemilu.
Bagi partai politik maupun politisi, membentuk citra politik yang baik sangatlah penting. Calon legislatif dan partai berharap bisa dipersepsikan sebagai pihak yang berkomitmen memperjuangkan kepentingan rakyat. Para calon legislatif ingin dilihat sebagai wakil yang benar-benar mewakili suara masyarakat. Demikian pula, partai politik berusaha mendapatkan citra positif melalui berbagai program dan inisiatif yang sedang atau akan dijalankan. Hal ini masuk akal karena hanya dengan citra yang baik, mereka bisa mendapatkan kepercayaan publik untuk merealisasikan berbagai ide dan agenda jika terpilih.
Setelah berhasil membentuk citra yang diinginkan, politisi dan partai politik berharap dapat membangun opini publik yang positif. Opini publik bukan sekadar hasil dari komunikasi politik yang dilakukan, tetapi juga merupakan umpan balik dari masyarakat. Opini publik mencerminkan pandangan, sikap, perasaan, harapan, dan penilaian individu serta kelompok masyarakat tentang isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan umum. Opini ini muncul sebagai hasil interaksi, diskusi, dan penilaian sosial, baik secara lisan maupun tertulis, yang seringkali dipengaruhi oleh pemberitaan di media massa, baik cetak maupun digital.
Melalui terbentuknya opini publik yang positif, politisi dan partai politik berharap dapat meningkatkan partisipasi masyarakat untuk memilih mereka. Dengan adanya partisipasi yang tinggi dari masyarakat dalam memilih calon legislatif dan partai politik, mereka akan lebih mudah memengaruhi kebijakan politik dan publik di berbagai aspek kehidupan sosial, nasional, dan kenegaraan. Hal ini bisa mereka perjuangkan di parlemen sebagai anggota legislatif, atau bahkan saat menjabat di posisi eksekutif.
Tujuan akhir yang diharapkan oleh partai politik dan politisi adalah terpilihnya mereka dalam pemilu. Keberhasilan komunikasi politik dapat diukur dari jumlah suara yang berhasil diraih dalam pemilu yang bersih, bebas, langsung, serta rahasia, tanpa adanya intimidasi atau praktik politik uang (money politics) yang dilakukan secara sistematis, baik pada skala individu maupun massal.