Mohon tunggu...
Elvi Anita Afandi
Elvi Anita Afandi Mohon Tunggu... Lainnya - FAIRNESS LOVER

Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dinding Tidur (Cerpen Memikat Karya Pemenang Nobel Sastra)

7 Juni 2024   18:51 Diperbarui: 7 Juni 2024   20:05 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap kali ia melintasi halaman berdebu menuju ke pintu pagar, pohon kurma tunggal mengingatkannya pada sebuah kuburan. Pemilik rumah menghalangi jalannya sambil menyiram air pada tanah dengan pipa karet.

"Anakku!"

Puah. la tak suka berpapasan dengan si pemilik rumah itu pagi-pagi begini, seorang lelaki kurus mulutnya terbuka sepertu takikan di kulit sebatang pohon tua.

"Kau seorang anak muda yang pendiam, sopan dan berasal dari keluarga baik-baik. Tapi, demi Allah, cobalah terangkan kepadaku tentang pemujaan roh orang mati yang kau lakukan dalam kamarmu itu."

"Berhakkah anda menanyakan perbuatan yang saya lakukan di kamar saya?"

"Ya, kalau perbuatan itu mengganggu ketenteraman para tetangga. Tapi karena uku sahabat ayahmu - semoga Tuhan melapangkan kuburnya - biarkanlah aku bertanya..."

Polesan perasaan gusar kelihatan pada wajahnya, dan si pemilik rumah terus berkata, "Aku tak pernah melihat kau melakukan sembahyang Jumat."

"Lalu apa hubungannya?"

"Maksudku, seorang yang beriman takkan melakukan pemujaan roh."

la tertawa tertahan, dan berkata, "Tapi perhatian kepada roh menunjukkan keyakinan kepada yang gaib ...."

"Bukan begitu. Awal dengan keraguan membawa pada akhir dengan keraguan pula."

la coba mengalihkan pokok pembicaraan.

"Saya perlu memberitahu anda tentang dinding kamar mandi yang..."

"Jangan mengelak dari pokok pembicaraan. Pemujaan roh yang kau lakukan telah mengganggu para tetangga sesama penyewa di rumah ini."

"Saya tidak melakukan sesuatu yang melanggar hukum, dan lebih perlu membicarakan dinding kamar mandi..."

"Marilah kita memperkuat saling pengertian," kata si pemilik rumah itu sambil mengarahkan pipa karet ke tempat lain. "Tentang dinding kamar mandi itu baiknya kau uruslah sendiri."

Sangat tidak menyenangkan memulai perjalanan hari seperti itu. Sebagaimana pagi-pagi Jumat, jalan di depan itu lengang sekali. Awan tebal berselekeh di atas kota kecil itu.

la merasa kepalanya berat karena tak tidur semalaman. Setelan selesai upacara pemujaan roh malam tadi, temannya yang menjadi guru sejarah mengatakan, "Sekarang kita bisa berbincang-bincang tentang nasib..." Dan malam itu telah dihabiskan dengan perdebatan yang tak menghasilkan apa- apa. Si teman akhirnya pulang ketika hari mulai terang dan berkata sambil ketawa, "Obat paling tepat bagimu ialah kawin." Ia masuk ke tempat tidur dengan risau, mengurung wajah seseorang dengan pelupuk matanya. Pohon kurma tunggal di luar itu seharusnya tidak terus sendirian selama-lamanya. Ibunya telah mengatakan beberapa hari sebelum meninggal bahwa orang memiliki sesuatu yang harus disyukuri dalam kehidupannya.

Kedai kopi itu masih kosong, seperti biasanya pada pagi-pagi begini. Ia duduk di meja depan pintu menghala ke stasiun kereta api. Pelayan membawa surat kabar dan meletakkan di mejanya. Lalu mengantarkan pesanannya, secangkir kopi dan roti. Aneh sekali, kepalanya terasa lebih berat setelah menghabiskan kopi dan rotinya, padahal subuh tadi dengan sia-sia ia berputar-putar menantikan kedatangan kantuk.  Ia memikirkan tatabahasa yang akan diajarkan kepada murid-muridnya. Hal itu mengingatkan dia kepada teman akrabnya, si guru sejarah, lawannya berdebat tanpa hasil.

"Apa artinya?"

"Kau kan guru bahasa Arab!  Mana ada suatu verba tanpa subyek."

"Bahasa ialah sumur tanpa dasar."

Muhammad wafat. Muhammad subyeknya. Tapi apakah bentuk subyek itu? Inilah sebabnya aku senantiasa mencari apa yang terjadi di balik kerajaan bahasa..."

Pelayan kedai kopi itu datang mengganggu gambaran pikirannya dengan mengelap meja marmar di depannya. "Tentu langgananmu tak suka jika khayalannya terganggu," katanya. Pelayan itu tersenyum seperti biasa, meskipun ucapan yang didengarnya itu terasa ganjil. Diambilnya uang yang diletakkan langganannya di atas meja dan berlalu.

Fotokopi, potongan cerpen, 1988. Dokpri
Fotokopi, potongan cerpen, 1988. Dokpri

Ia biarkan pikirannya berjalan, (Pelayan itu tersenyum, senyum seorang bijaksana, namun karena seluruh wujud senyum itu belum diketahui maka pengetahuan kita tentang hal-hal kecil yang dekat di sekeliling kita tetap tidak sempurna, tak dapat diuraikan. la mengalihkan pandangan ke awan, merenungi sisi paling silau sampai mengaburkan mata, warna putih itu berubah-ubah seperti dilakukan oleh suatu tangan sihir, berkilat-kilat, mengapung, lalu menjadi gumpalan yang muram, tak berbentuk dan bertemperasan: Didorong oleh keinginan untuk mercapai kebehingan mutlak, ia berlutut di depan sebuah patung Buddha dalam sebuah taman Jepang, dan terdengar suara temannya si guru sejarah berkata sambil menunjuk pada patung itu, "Ketenangan, kebenaran, kemenangan," yang diulanginya sesungguh hati, "Ketenangan, kebenaran, kemenangan." Ia kerahkan seluruh kekuatan pikirannya bagaikan bersiap menghadapi perdebatan-perdebatan mereka, sementara daun-daun gemersik seperti berteriak pilu. Terdengar jeritan seorang anak kecil atau mungkin juga seorang gadis. Jantungnya berdebar sedikit bersemangat berahi. Ingin ia ungkapkan rangkaian puisi seperti rubai Omar Al-Khayyam, tapi apa itu... suara memanggil namanya. Ia berpaling ke arah suara itu dan mendengar si guru sejarah berkata, "Obat paling tepat bagimu ialah kawin." Langkah-langkah kaki orang terdengar hingar sekali la bangkit dan berlari hendak mengejar kereta api tapi tergelincir dan terjatuh di trotoar. Ya Allah! Kenapa tempat ini jadi begini ramai dan sibuk? Orang- orang berjejal di depan gerbang. Beberapa polisi menjaga peron stasiun itu. Peristiwa apa yang terjadi di bawah awan yang menebal ini? Itu pelayan kedai kopi keluar dari kerumunan orang kembali ke tempat kerjanya. Sambil memiringkan badannya si pelayan mendekatinya dan berkata, "Tentu anda melihat semua itu dengan jelas, bukan?"

Ia mengerutkan kening, hendak menidakkan dan bertanya pada waktu yang sama, sedangkan si pelayan kedai kopi selanjutnya berkata, "Anda akan dipanggil sebagai saksi."

"Saksi apa?"

"Kejahatan yang terjadi di statiun ini sebentar tadi, beberapa kaki dari tempat anda duduk!"

"Kejahatan?"

"Mengapa Anda ini? Suatu pembunuhan yang dilakukan kepada seorang juru rawat muda."

"Juru rawat?"

"Seorang pemuda sinting telah membunuh perempuan malang itu. Tuhan akan membalasnya..."

Wajahnya tegang, ngeri dan terkejut. Dan ia bergumam, "Terbunuh... tak percaya aku, di mana perempuan itu sekarang?"

Orang membawanya ke Rumah Sakit, tapi dia meninggal dalam perjalanan."

"Mati!"

"Anda tidak melihat kejadian ngeri di depan mata anda itu?" Setelah sia-sia menunggu jawaban pelayan itu berkata lagi, "Mana mungkin Anda tak melihatnya. Saya sedang sibuk bekerja di dalam, terdengar suara perempuan itu menjerit, dan saya keluar. Pembunuh itu mengejarnya, menikamnya,  di situ, tepat di tempat pegawai Kejaksaan itu berdiri..."

"Dan pembunuhnya?"

"Melarikan diri, tapi untuk sementara. Seorang anak muda. Kepala stasiun melihatnya melompati pagar tembok itu dan melarikan diri dengan sepeda motor. Namun pastilah ia dapat juga ditangkap kelak..."

Wajahnya berkerut seperti menahan sakit, dan badannya terperosokmdi kursi ketika pelayan itu pergi sambil berkata, "Mana mungkin anda tidak melihat kejadian itu yang berlangsung di depan hidung sendiri."

Seorang anggota polisi datang memanggilnya dan membawanya ke depan pejabat Kejaksaan. la memutuskan untuk mengumpulkan pikiran yang berserak-serak agar menjadi utuh kembali. Jam tangannya memberitahu bahwa ia telah tertidur paling tidak selama satu jam. Dengan langkah berat diikutinya polisi itu. Pemeriksaan dimulai dengan pertanyaan baku: nama, umur, pekerjaan.

"Bila anda memasuki kedai itu?"

"Kira-kira jam tujuh."

"Sejak itu Anda tidak meninggalkan tempat duduk tersebut, bukan?"

"Benar."

"Apa yang anda lihat? Harap ceritakan rangkaian kejadian dari awal sampai akhir."

"Saya tidak melihat apa-apa."

"Apa? Suatu pembunuhan terjadi tepat di depan mata dan Anda mengatakan tidak melihat apa-apa?"

"Saya tertidur!"

"Tertidur?"

Dengan agak gusar ia berkata, "Ya!"

"Semua keributan itu tidak membangunkan anda?"

"Tidak."

"Hingar bingar dan jeritan?"

Ia menggelengkan kepala dan menggigit bibir bawahnya.

"Juga teriak minta tolong perempuan itu dengan menyebut nama anda?"

Ia mengeluh.

"Nama saya?"

"Ya. Dia memanggil anda beberapa kali, dan saksi-saksi menyatakan dia berlari ke arah anda untuk meminta bantuan."

Ia memandang udara hampa dan seperti menyesal berkata, "Tidak..."

"Tapi kenyataannya begitu."

Ia memejamkan dan membiarkan pikirannya bergerak mengikuti soal jawab itu sampai terdengar suara orang di depannya mengatakan, "Ja wab pertanyaan itu ... jawab lah!"

"Maafkan saya..."

"Apa hubungan antara kalian berdua?"

"Tak ada."

"Tapi dia menyebut-nyebut nama anda."

"Kami tinggal di tempat yang sama, maksud saya rumah kami hanya dipisahkan sebuah jalan..."

"Saksi-saksi mengatakan sering melihat anda dan dia menunggu kereta api bersama-sama."

"Jam kerja kami kebetulan sama... hanya itu

"Jadi nama Anda yang disebutnya itu tak mempunyai arti apa-apa?"

"Barangkali dia menyangka saya mengaguminya

"Lalu ada hubungan khusus antara kalian?"

"Barangkali..."

Tiba-tiba dengan dorongan emosi yang tak terkendali, ia seperti berteriak, "Saya mencintainya. Saya sudah berpikir untuk mengajaknya kawin."

"Dan Anda belum mengatakan itu kepadanya?"

"Saya belum mengambil keputusan akhir."

"Dan pembunuhan terhadapnya terjadi ketika anda sedang tidur nyenyak..."

Ia mengangkat kepala memperlihatkan wajah penyesalan.

"Selain itu maksud saya tentang si pembunuh, tahukah anda siapa dia?"

"Tidak."

"Pernahkan Anda mendengar tentang perhubungan perempuan itu dengan seseorang?

"Tidak."

"Ada keterangan lain yang akan Anda berikan?"

"Tak ada."

Udara berisikan taburan awan yang bertemperasan pecah-pecah. Gerimis turun sebentar, lalu berhenti. Tanpa tujuan ia berjalan menyusuri lorong demi lorong. Hari telah berganti malam dan ia masih juga melangkah gontai seolah-olah kemelut yang dihadapinya hari itu akan dapat diatasi dengan kelelahan badaniah. Di muka gerbang taman Jepang dijumpainya temannya si guru sejarah. Mereka bersalaman, dan didengarnya teman itu berkata, "Mari kita duduk sebentar. Aku ingin menanyakan sesuatu."

"Maat, sambutnya dingin. "Aku tidak siap berdiskusi tentang hal-hal gaib."

Si teman memperlihatkan wajah penyesalan lalu bertanya, "betulkah seperti dikatakan orang, jururawat itu terbunuh tepat di depan tempat kau tidur?

"Di mana kau mendengar itu?"

"Di kedai pangkas."

"Apa anehnya jika seorang yang letih tertidur? Salahkah dia kalau ketika itu langit runtuh dan neraka bobol?"

Guru sejarah itu ketawa dan coba membujuknya, "Jangan marah, kau kan mengerti aku tak tahu samasekali hubunganmu dengan gadis jururawat itu.

"Hubungan apa? Kau gila!"

Maaf aku benar-benar minta, maaf. Tapi itulah yang kudengar di kedai pangkas."

Ia meneruskan perjalanan tanpa tujuan itu. Puah. Cerita burung tentangnya akan terus menggelembung seperti sebuah balon raksasa. Sementara itu si gadis yang terbunuh sudah meninggal. Kasihan gadis malang itu. Teriak putus asanya telah membentur dinding tidur, tapi secara misterius telah menembus telinga seluruh kota kecil itu. Gadis malang, aku lebih malang darimu.

Penjual rokok itu berkata kepadanya ketika menyerahkan sebungkus okok, "Saya ikut berdukacita ... terimalah rasa simpati saya..."

Aduh! Nampaknya seluruh kota ini sudah tahu tentang pembunuhan tersebut. Mereka ikut berduka cita, memberikan rasa simpati, dengan anggapan di antara ia dan gadis itu ada suatu hubungan yang sangat erat. Pertunangan antara mereka seperti diumumkan sesudah gadis itu meninggal. Dan kecurigaan pastilah akan menggambarkan sesuatu yang lebih jauh dari itu semua.

Pemilik sebuah kedai kecil melemparkan kerlingan penuh arti kepadanya. Siapakah orang itu? Ia merasa mata semua orang tertuju kepadanya. Ia telah diburu, dituduh dan dianggap bersalah. Tak ada jalan untuk melepaskan diri sebab ia dianggap bertanggungjawab. Bukankah korban pembunuhan itu berteriak minta tolong sambil menyebut namanya? Di sekolah besok ia akan dihujani dengan pertanyaan. Langit akan runtuh dan neraka bobol di halaman sekolah itu. Jalan sudah terasa jauh di tempuhnya, dan ia telah menjadi buah bibir penduduk kota itu. Orang-orang membicarakan peristiwa pembunuhan dengan tekanan pada dirinya yang tertidur ketika kejadian itu berlangsung di depan hidungnya.

"Si pembunuh seorang murid sekolah menengah sudah tertangkap."

Kematian gadis yang sia-sia itu rupanya merupakan korban dari delikuensi remaja. "Pembunuh itu mencintai sang korban, tapi ia bertepuk sebelah tangan. "Seperti diperkirakannya tentulah gadis itu berkepribadian kuat sehingga ia merasa selalu ada jarak untuk mendekatinya.

"Sudah pasti gadis jururawat itu mencintai guru bahasa Arab tersebut..." Padahal, ia selalu sibuk dengan upacara pemujaan roh, bukan meluangkan waktu untuk bercinta... dan terlalu nyenyak tidur, bukan menyelamatkan nyawanya, "Guru bahasa Arab itu telah mengatakan kepada pihak Kejaksaan bahwa ia tertidur ketika kejadian itu berlangsung. Aneh sekali, hiruk pikuk dan jeritan yang antara lain memanggil namanya tidak membangunkannya. Memang aneh. Tapi mereka tak tahu bahwa malam sebelumnya ia telah bergadang semalaman melakukan upacara perjaan roh dan berdebat tentang nasib. Rasa pedih terasa di hulu hatinya, isi dadanya seperti diperas kering dan merembes perlahan-lahan dengan cairan racun. Dan akhirnya dengan enggan ia pulang juga ke rumah, sambil mengharapkan hujan lebat menyerkap seluruh kota kecil itu dengan sebuah tabir gelap. Dilihatnya si pemilik rumah sedang duduk di atas bangku tepat di bawah pohon kurma tunggal. Orang tua itu menyambut kedatangannya dengan ramah, "Kau letih nampaknya. Aku harap kau tidak tersinggung dengan apa-apa terjadi pagi tadi.

la menggelengkan kepala. Orang tua pemilik rumah itu merendahkan suaranya, lebih keras sedikit dari bisikan, berkata, "Betulkah seperti yang dikatakan orang-orang?"

"Ya!" jawabnya tajam. "Juru rawat itu telah dibunuh di depan hidung saya sementara saya tertidur dengan sangat nyenyak. Itulah keajaiban dunia yang kedelapan!"

"Dan saya tak mendengar teriakannya minta tolong. Ada orang yang mengatakan bahwa saya mendengarnya tapi pura- pura tidur."

Orang tua itu bangkit, mendekatinya, dan meminta maaf berkali-kali, memegang tangan anak muda itu, menariknya dan mengajak duduk di sampingnya, "Ayahmu - semoga Tuhan melapangkan kuburnya, ialah sahabatku. Jadi maafkanlah aku..."

Sunyi berlangsung cukup lama. Ia minta diri dan orang tua pemilik rumah mengantarnya sampai di pintu, dan berbisik di telinganya, "Aku harus mengulangi kembali apa-apa yang telah kukatakan kepadamu pagi tadi tentang pemujaan roh itu."

Ia melunjurkan kaki di atas ranjang dengan keletihan yang luar biasa. Sambil memejamkan mata. la bersungut, "Aku memerlukan tidur yang panjang, yang lama sekali dan untuk selama-lamanya...."***

(Aku mendapatkan dua lembar fotokopi cerpen  karya Naguib Mahfouz, pemenang Nobel Sastra 1988 ini dari seorang guru Bahasa Inggrisku kala SMA. Cerpen ini diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Hasan Junus. Saat mencari nama Penulis aslinya di mesin pencarian, aku menemukan nama: Najib Machfuzh (bahasa Arab: , Nab Maf; Naguib Mahfouz; Gamaliya, Kairo, 11 Desember 1911 -- 30 Agustus 2006) adalah seorang novelis Mesir yang mendapatkan Penghargaan Nobel dalam bidang sastra pada tahun 1988. Namanya diberikan orangtuanya sesuai dengan nama Profesor Naguib Pasha Mahfouz, dokter yang membantu kelahirannya. Mahfouz, yang lama menjadi pegawai negeri, berdinas di Kementerian Wakaf Mortmain, kemudian menjabat sebagai Direktur Badan Sensor di Biro Seni, Direktur Yayasan Pendukung Bioskop, dan akhirnya sebagai konsultan di Kementerian Kebudayaan. Ia menerbitkan lebih dari 30 novel. Ia memperoleh Penghargaan Nobel dalam Sastra pada 1988). Wallahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun