Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Penjara Kasih Ibu

28 Maret 2017   08:05 Diperbarui: 28 Maret 2017   17:00 1543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                                                     

Tangan lembutnya menyentuh kepalaku. Lama. Aku ingin menangis di pelukannya. Tapi kuurungkan. Karena beberapa pasang mata tak lepas mengawasi kami.

“Jaga dirimu baik-baik, Ayu.”

Itu pesan terakhir yang keluar dari bibirnya. Aku hanya mengangguk. Tanpa mampu berucap sepatah katapun. Bahkan untuk sekedar menyampaikan selamat tinggal, bibirku kaku.

Ia pergi bersama orang-orang itu. Orang-orang berseragam dengan senjata api di pinggangnya. Kedua tangannya terborgol. Langkahnya terlihat gontai.

Kebebasannya terenggut sudah.

Kini aku benar-benar sendiri. Hanya ditemani seekor kucing kecil, kurus, dekil, yang mengeong manja di ujung kakiku.

“Manis, jangan pergi yah...” aku meraih kucing kecil itu dan menggendongnya menuju ruang dalam.

Di luar senja mulai bergulir. Desau angin perlahan menyibak tirai yang berjuntai. Kuulurkan tangan meraih gagang jendela. Kututup daunnya hati-hati.

Samar, peristiwa beberapa saat lalu berkelebat muncul kembali.

***

Malam yang cerah. Ibu mengajakku bicara. Tentang laki-laki itu.

“Ayu, dia lelaki yang baik.”

“Sebaik apa, Bu?”

‘Sebaik ayah kandungmu.”

“Jadi Ibu telah menjatuhkan pilihan padanya?”

“Apakah kau keberatan?”

Aku terdiam.

“Ibu mencintainya?” tanyaku menelisik. Kulihat Ibu mengangguk.

“Baiklah. Jika Ibu yakin ia bisa menggantikan ayah, Ayu terserah Ibu.”

Ibu tersenyum. Memeluk pundak ringkihku seraya berbisik,"Kuharap ia menyanyangimu seperti anak kandungnya sendiri.”

Malam itu aku sulit memejamkan mata. Memikirkan rencana Ibu yang hendak menikah lagi. Ah, sudah berapa lama Ibu hidup menyendiri? Cukup lama. Hampir lima tahun semenjak ayah tiada. Dan selama itu Ibu mampu bertahan hidup hanya berdua bersamaku.

Aku menyayangi Ibu. Sangat. Karena hanya dia satu-satunya yang kumiliki.

“Happy sweet seventeen, Ayu,” tiba-tiba satu kecupan mendarat di keningku.

“Ibu belum tidur juga?” aku terperanjat. Kulihat Ibu sudah duduk di tepi ranjangku.

“Jadi, aku sudah boleh jatuh cinta, kan, Bu?” selorohku. Ibu tertawa. Lalu ia merapikan selimutku. Mencium sekali lagi keningku dan menyuruhku untuk segera tidur.

***

Huft, Ibu akhirnya menikah juga. Ia tampak begitu bahagia. Meski tanpa pesta meriah, hanya mengundang kerabat dekat dan tetangga kanan kiri, sama sekali tidak mengurangi kesakralan perhelatan suci itu. Ibu mengenakan kebaya brokat berwarna putih. Cantik sekali. Sedang lelaki di sampingnya, yang kini resmi sebagai suaminya, sekaligus ayah baruku, tampil gagah dengan stelan jas hitam dan peci.

Ijab kabul telah usai. Beberapa tamu satu persatu mulai meninggalkan rumah.

Ibu memanggilku. Mengajakku duduk bertiga.

“Ayu, mulai sekarang Ayahmu akan tinggal bersama kita,” Ibu berbisik di telingaku. Aku mengangguk. Melirik sekilas pada lelaki gagah yang berdiri di samping Ibu. Kebetulan lelaki itupun sedang melirik ke arahku. Membuatku--- salah tingkah.

“Anggaplah rumah sendiri, Ayah,” ujarku menutupi kegugupan.

“Terima kasih Ayu telah menerima kehadiran Ayah,” lelaki itu menyahut seraya menyungging senyum. Ibu mengulurkan tangannya. Meraih jemariku dan menumpangkannya di atas punggung tangan lelaki itu.

Dadaku berdesir. Punggung tangan lelaki itu terasa hangat. Membuat wajahku seketika memerah.

Buru-buru kutarik kembali jemariku.

“Boleh aku istirahat di kamar?” aku berdiri. Menatap Ibu sejenak. Ibu mengangguk. Lelaki di samping Ibu juga ikut mengangguk.

Di dalam kamar kuhempas tubuhku. Kupeluk bantal erat-erat.

Ya, Tuhan...ada apa dengan perasaanku?

***

Di depan cermin aku mengumpat diriku sendiri. Sungguh memalukan! Di hadapan ayah baru, mengapa aku begitu salah tingkah?

Seperti yang baru saja terjadi. Ketika Ibu memintaku untuk menyuguhkan kopi, tanganku gemetar. Dan cangkir kopi terguling di atas meja. Isinya tumpah ke mana-mana. Hanya gegara senyum pria itu!

Untunglah Ibu tidak mencurigaiku.

“Ayu, kamu lelah, ya? Istirahatlah,” Ibu mengelus lembut pundakku. Terpaksa aku mengangguk. Sementara, lelaki gagah itu terlihat asyik membaca koran. Tapi aku tahu, ia mendengarkan percakapan kami.

“Bu, Ayu pamit mengerjakan tugas sekolah, ya....Besok dikumpulkan,” aku berusaha mencari alasan. Tanpa menunggu jawaban aku bergegas menuju kamarku.

Kukira lebih baik berada di dalam kamar ketimbang bertemu pandang dengan lelaki itu.

***

Meski sudah hampir sebulan kami tinggal bersama, kecanggungan masih melandaku. Kau tahu apa sebabnya? Lelaki yang menjadi suami Ibuku, usianya terpaut jauh. Ia lebih muda beberapa tahun dari usia Ibu. Ia---lebih pantas menjadi kakakku.

Tapi aku tahu, Ibu sangat mencintai lelaki itu. Jika tidak, mana mungkin Ibu bersedia menikah dengannya? Bukankah landasan utama seseorang memutuskan untuk hidup bersama adalah saling mencintai?

Tunggu! Tentang hati Ibu, aku sama sekali tak meragukannya. Tapi bagaimana dengan hati lelaki itu? Apakah ia benar-benar mencintai Ibu?

Duh, kenapa timbul pikiran norak seperti itu dalam benakku? Entahlah.

***

Suatu siang, sepulang sekolah, kulihat rumah dalam keadaan sepi. Aku masuk begitu saja karena kukira tak ada orang di rumah.

Ternyata aku salah. Aku mendengar suara  desah di kamar depan. Ibu dan suaminya, mereka sedang memadu cinta. Huft, siang-siang begini. Ah, sudahlah. Itu urusan mereka.

Meski aku berusaha mengabaikan suara-suara itu, tetap saja telingaku tergelitik. Tawa manja Ibu, ah.

“Ayu?” tetiba terdengar seseorang memanggilku. Lelaki itu! Ia membuka pintu kamar dan tampak terkejut melihat aku berdiri di ruang tamu.

“Oh, maaf,” aku bergegas mengayun langkah menuju kamarku. Tapi tangan kekar lelaki itu berhasil menghalangiku.

“Tunggu, Ayu. Mari kita bicara.”

Aku gemetar. Benar-benar gemetar. Bukan gemetar karena takut, bukan.

Lelaki itu tersenyum.

“A-yah, lepaskan....”

“Kenapa?” ia menatapku nakal. “Takut sama Ibumu? Tenanglah, ia baru saja tertidur.”

Aku terdiam. Membiarkan tangan kekar itu mencengkeram lenganku. Dan entah bagaimana mulanya, tahu-tahu lelaki itu sudah mendaratkan satu ciuman di bibirku.

***

Semenjak kejadian siang itu, ia kerap melakukannya padaku. Lelaki itu. ia suka mencuri-curi ciuman saat Ibu tidak ada atau sedang lengah. Awal mula aku merasa amat ketakutan, bagaimana jika Ibu memergoki kami?

Tapi lelaki itu berulang kali menegaskan, Ibu tak akan mengetahuinya. Dan entah setan apa yang telah merasukiku, aku menjadi begitu penurut padanya. Yang lebih memuakkan, aku menjadi ketagihan oleh ciumannya.

Suatu siang, Ibu berpamitan menjenguk kerabat yang sedang dirawat di Rumah Sakit. 

"Mungkin Ibu pulang agak sore, Ayu," Ibu berkata. Aku mengangguk. Sebenarnya aku ingin menemani Ibu. Tapi pekerjaan sekolahku menumpuk dan harus segera kuselesaikan.

Beberapa menit usai kepergian Ibu, aku segera menutup pintu rumah. Beranjak menuju kamar dan bermaksud mulai mengerjakan tugas-tugas sekolah.

Tiba-tiba muncul dia. Lelaki yang menjadi suami Ibu dan telah beberapa kali berhasil mencuri ciuman dariku.

"A-yah di rumah? Sedang libur?" tanyaku gugup. Seperti biasa lelaki itu tersenyum.

"Kebetulan agak tidak enak badan. Jadi izin bolos."

"Mengapa tidak menemani Ibu ke Rumah Sakit? Kan bisa sekalian periksa kesehatan di sana."

"Aku ingin berdua dengan Ayu...."

Seketika wajahku memerah. Lelaki itu mendekat. Tangan kekarnya terulur. Seperti yang sudah bisa diduga, ia memelukku erat dan mendaratkan satu ciuman. Hangat. Aku meronta sejenak. Tapi kemudian--- menikmati.

Beberapa detik jiwaku melayang. Melayang jauh hingga melupakan sesuatu. 

Aku telah melupakan perasaan Ibu.

Ibu? Deg. Teringat akan hal itu seketika kesadaranku kembali. Oh, Ibu, apa yang telah aku lakukan?

"Lepaskan!" aku menepis tangan kekar Ayah. Tapi lelaki itu terlanjur dirasuki birahi. Ia mencengkeram erat pundakku.

"Lepaskan!!!" Aku berusaha meronta kembali. Kami jatuh bergulingan di atas karpet. 

Sementara wajah Ibu semakin nyata menari-nari di pelupuk mataku.

"Hentikan!!!" suaraku melolong parau. Lelaki itu mulai terganggu dan membekap mulutku. Ia semakin binal memperlakukan aku.

Antara sadar dan tidak tanganku menggapai, meraba-raba sesuatu. Oh, beruntungnya aku. Sebuah benda dingin dan berat terbuat dari gelas berhasil kuraih.

Braaaak!!! Asbak terbuat dari gelas itu menghantam tepat di pelipisnya. Lelaki yang sedang dirasuki setan itu menggelinjang sejenak. Pelukannya terlepas. Lalu tubuhnya menggelosoh diam.

Lama ia tak bergerak. Aku menunggu. Menunggu bagai patung hingga Ibu pulang.

Ibu berhambur memelukku. 

"Jangan katakan apa-apa, Ayu. Diamlah...Ibu sudah tahu," bisiknya di telingaku. Aku ingin menangis. Tapi tak ada air mata yang keluar.

Beberapa jam kemudian serombongan Polisi mendatangi rumah kami. Ibu menyongsong mereka seraya menyerahkan kedua tangannya.

"Penjarakan aku. Akulah yang membunuh lelaki biadab itu."

***

Malang, 28 Maret 2017

Lilik Fatimah Azzahra

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun