“Oh, maaf,” aku bergegas mengayun langkah menuju kamarku. Tapi tangan kekar lelaki itu berhasil menghalangiku.
“Tunggu, Ayu. Mari kita bicara.”
Aku gemetar. Benar-benar gemetar. Bukan gemetar karena takut, bukan.
Lelaki itu tersenyum.
“A-yah, lepaskan....”
“Kenapa?” ia menatapku nakal. “Takut sama Ibumu? Tenanglah, ia baru saja tertidur.”
Aku terdiam. Membiarkan tangan kekar itu mencengkeram lenganku. Dan entah bagaimana mulanya, tahu-tahu lelaki itu sudah mendaratkan satu ciuman di bibirku.
***
Semenjak kejadian siang itu, ia kerap melakukannya padaku. Lelaki itu. ia suka mencuri-curi ciuman saat Ibu tidak ada atau sedang lengah. Awal mula aku merasa amat ketakutan, bagaimana jika Ibu memergoki kami?
Tapi lelaki itu berulang kali menegaskan, Ibu tak akan mengetahuinya. Dan entah setan apa yang telah merasukiku, aku menjadi begitu penurut padanya. Yang lebih memuakkan, aku menjadi ketagihan oleh ciumannya.
Suatu siang, Ibu berpamitan menjenguk kerabat yang sedang dirawat di Rumah Sakit.