Aku menyayangi Ibu. Sangat. Karena hanya dia satu-satunya yang kumiliki.
“Happy sweet seventeen, Ayu,” tiba-tiba satu kecupan mendarat di keningku.
“Ibu belum tidur juga?” aku terperanjat. Kulihat Ibu sudah duduk di tepi ranjangku.
“Jadi, aku sudah boleh jatuh cinta, kan, Bu?” selorohku. Ibu tertawa. Lalu ia merapikan selimutku. Mencium sekali lagi keningku dan menyuruhku untuk segera tidur.
***
Huft, Ibu akhirnya menikah juga. Ia tampak begitu bahagia. Meski tanpa pesta meriah, hanya mengundang kerabat dekat dan tetangga kanan kiri, sama sekali tidak mengurangi kesakralan perhelatan suci itu. Ibu mengenakan kebaya brokat berwarna putih. Cantik sekali. Sedang lelaki di sampingnya, yang kini resmi sebagai suaminya, sekaligus ayah baruku, tampil gagah dengan stelan jas hitam dan peci.
Ijab kabul telah usai. Beberapa tamu satu persatu mulai meninggalkan rumah.
Ibu memanggilku. Mengajakku duduk bertiga.
“Ayu, mulai sekarang Ayahmu akan tinggal bersama kita,” Ibu berbisik di telingaku. Aku mengangguk. Melirik sekilas pada lelaki gagah yang berdiri di samping Ibu. Kebetulan lelaki itupun sedang melirik ke arahku. Membuatku--- salah tingkah.
“Anggaplah rumah sendiri, Ayah,” ujarku menutupi kegugupan.
“Terima kasih Ayu telah menerima kehadiran Ayah,” lelaki itu menyahut seraya menyungging senyum. Ibu mengulurkan tangannya. Meraih jemariku dan menumpangkannya di atas punggung tangan lelaki itu.