"Nona, sebaiknya tokonya ditutup saja. Ada anggota teroris berkeliaran!" salah seorang petugas memperingatkan.
Teroris? Jantungku sontak berpacu kencang. Aku melirik guci raksasa di pojok ruangan. Jangan-jangan lelaki yang bersembunyi itu.... Jika benar, ah, apa yang telah aku lakukan? Aku sudah melindungi seorang penjahat.
Aku meremas tanganku sendiri. Keringat dingin mulai membasahi keningku.Â
Kuputuskan, aku harus segera menghubungi polisi.
***
Jemariku nyaris menekan angka-angka ketika kudengar lelaki di dalam guci itu terbatuk-batuk. Kembali tatapanku mengarah ke guci raksasa itu. Seketika aku berubah pikiran. Tidak. Aku tidak boleh menyerahkan dia pada polisi.
"Keluarlah. Keadaan sudah aman. Terlalu lama bersembunyi di situ, kamu bisa kehabisan napas," ujarku seraya membuka tutup guci. Lelaki itu berdiri. Lalu melompat sigap, keluar dari dalam guci dan menghela napas panjang.
"Huft...terima kasih," ucapnya lirih.
Aku menarik sebuah kursi.Â
"Duduklah. Ada yang ingin kutanyakan padamu."
"Mengenai identitasku?"