Aku selalu melihatnya hampir setiap sore di kisaran pukul 4. Ia berjalan tergesa di depan toko tembikarku. Meski hanya sekilas, aku bisa menggambarkan sosoknya dengan jelas. Postur tubuhnya tinggi, wajahnya tirus. Ia mengenakan jaket semacam raincoat berwarna biru. Sebuah ransel berwarna hitam tersampir nyaman pada punggungnya.
Tujuh hari dalam seminggu aku melihatnya. Lelaki dengan jaket raincoat itu.
Suatu sore, menjelang akhir pekan, tidak seperti biasa jalanan di depan toko tembikarku yang biasanya lengang, berubah bingar. Beberapa orang berhamburan. Sebagian tampak berlarian seolah tengah mengejar sesuatu.
Ada apa ini? Aku mengintip dari balik jendela yang tirainya terbuka lebar.
Ketika mataku asyik terpaku pada orang-orang yang berlalu lalang itu, tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.
"Tolong aku! Selamatkan aku!"Â
Aku menoleh dan terkejut bukan kepalang. Lelaki itu! Lelaki yang selalu berjalan tergesa di kisaran pukul 4, tahu-tahu sudah berdiri di belakangku.
"Please, tolong aku...orang-orang itu mengejarku," kembali ia meratap. Wajahnya yang tirus memucat pasi.
Entah sihir apa yang menguasaiku. Tiba-tiba saja aku sudah menarik lengannya. Membawanya menuju pojok ruangan di mana guci-guci raksasa daganganku terpajang. Kubuka salah satu guci dan menyuruh lelaki asing itu segera masuk ke dalamnya.
Aku kembali ke ruang depan. Mengunci pintu sembari mengintip jalanan melalui kaca jendela.
Beberapa petugas berseragam tampak masih mondar-mandir di depan toko.
"Nona, sebaiknya tokonya ditutup saja. Ada anggota teroris berkeliaran!" salah seorang petugas memperingatkan.
Teroris? Jantungku sontak berpacu kencang. Aku melirik guci raksasa di pojok ruangan. Jangan-jangan lelaki yang bersembunyi itu.... Jika benar, ah, apa yang telah aku lakukan? Aku sudah melindungi seorang penjahat.
Aku meremas tanganku sendiri. Keringat dingin mulai membasahi keningku.Â
Kuputuskan, aku harus segera menghubungi polisi.
***
Jemariku nyaris menekan angka-angka ketika kudengar lelaki di dalam guci itu terbatuk-batuk. Kembali tatapanku mengarah ke guci raksasa itu. Seketika aku berubah pikiran. Tidak. Aku tidak boleh menyerahkan dia pada polisi.
"Keluarlah. Keadaan sudah aman. Terlalu lama bersembunyi di situ, kamu bisa kehabisan napas," ujarku seraya membuka tutup guci. Lelaki itu berdiri. Lalu melompat sigap, keluar dari dalam guci dan menghela napas panjang.
"Huft...terima kasih," ucapnya lirih.
Aku menarik sebuah kursi.Â
"Duduklah. Ada yang ingin kutanyakan padamu."
"Mengenai identitasku?"
Aku mengangguk.
Lelaki itu duduk. Meraih ransel yang tergeletak tak jauh dari kakinya.Â
"Kita belum berkenalan," ujarnya tanpa melihatku.
"Namaku Rara. Pemilik toko tembikar ini," aku memperkenalkan diri.
"Aku Ben. Lengkapnya Ben Ikhsan."
Aku meletakkan siku di atas meja. Kutatap lelaki asing itu tak berkedip.
"Ben, apakah kamu..." tak kulanjutkan kalimatku. Ben juga tak menyahut. Tangannya sibuk mengeluarkan benda-benda dari dalam ransel hitamnya.Â
Sesaat aku menahan napas begitu melihat benda-benda yang digelar di atas meja. Sebuah senjata api, beberapa peralatan berbentuk aneh yang berhiaskan kabel-kabel. Â Juga buku-buku tebal bergambar orang-orang bersorban.
"Jadi benar kamu anggota teroris, Ben?" suaraku bergetar. Antara takut dan kecewa.
Lelaki bernama Ben Ikhsan itu terdiam. Ia terpekur memandang ujung kakinya. Sementara aku tak tahu harus bicara apa lagi. Mulutku terasa terkunci.
"Rara, aku ingin berkata jujur," akhirnya lelaki itu mengangkat wajahnya. "Aku tak mau menjadi teroris lagi. Sungguh."
Suatu pengakuan yang benar-benar menggugah simpatiku. Kupandangi wajah Ben lekat-lekat. Kupelajari setiap guratannya.
"Ben, segerakan niat baikmu," aku tersenyum. Memberinya semangat. Ia mengangguk dan membalas senyumanku.Â
Sesaat mata kami bertemu. Lama. Saling bicara.
***
Ben Ikhsan bercerita banyak tentang dirinya. Tentang muasal ia terperosok ke dunia bernama teroris. Dunia yang dielu-elukan oleh pengikut fanatiknya.
"Aku menyesali semua tindakanku, Ra. Aku telah menyia-nyiakan hidupku, masa mudaku. Aku ingin kembali menjadi Ben Ikhsan yang baik."
"Kamu pasti bisa, Ben."
"Ra, meski sudah lama aku bergabung dengan mereka, tapi aku belum pernah sekalipun menyakiti seseorang."
"Aku percaya padamu, Ben."
Dan perbincangan sore itu berlanjut pada sebuah penawaran.Â
"Aku membutuhkan seorang asisten untuk mengelola toko tembikarku ini, Ben. Bersediakah kamu mengisi lowongan itu?"
*** Â
Hampir satu bulan Ben Ikhsan bekerja di tempatku. Kami berbagi tugas. Ia kuserahi menjaga toko mulai pagi hingga tengah hari. Sedang sisa waktu adalah giliranku.
Suatu siang, usai makan Ben Ikhsan mengajakku berbincang.
"Ra, berapa harga guci raksasa itu?"Â
"Guci yang mana?"
"Yang di pojok ruangan itu."
"Oh, apakah ada pembeli yang berminat?"
Ben menggeleng.
"Aku ingin membelinya, Ra. Untukku sendiri. Sebagai kenang-kenangan karena guci itu telah menyelamatkanku."Â
"Ben, kamu boleh memiliki guci itu tanpa harus membayarnya, " bisikku.Â
***
Suatu pagi, langit bergayut mendung. Aku sedang memasak di dapur ditemani ibu ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan pada pintu berulang-ulang.
"Tengoklah dulu Ra, ada apa," ibu mengambil alih pekerjaanku.
Saat membuka pintu, beberapa petugas berseragam sudah berdiri menyongsongku.
"Kami mendapat tugas menggeledah toko tembikar Anda," salah seorang menunjukkan surat perintah padaku.
"Ada apa ini, Pak?" tanyaku bingung.
"Kami mendapat informasi, ada anggota teroris yang bersembunyi di sini." Petugas itu menunjukkan sebuah foto padaku. Itu wajah Ben Ikhsan!
Aku tak bisa mencegahnya lagi. Para petugas menyeruak masuk ke dalam toko  dan menggeledah setiap ruangan.
"Target tak ditemukan! Ia kabur! Meloloskan diri lewat pintu samping!" salah seorang petugas berseru lantang. Derap sepatu seketika menghentak. Sebagian petugas semburat melakukan pengejaran.Â
Mereka mengejar Ben Ikhsan. Oh, Ben. Apa yang akan terjadi padamu?
"Target melakukan aksi bom bunuh diri!" seruan itu tiba-tiba saja terdengar. Aku terhenyak. Wajahku menegang. Aksi bom bunuh diri? Apa yang telah kamu lakukan, Ben? Mengapa kamu menghabisi nyawamu sendiri? Tubuhku seketika limbung. Mataku menyalang.
Entah nyata atau tidak, di antara kerumunan orang yang memenuhi toko tembikarku, aku melihat Ben Ikhsan. Ia berjalan melenggang dengan jaket raincoatnya yang berwarna biru.
Aku berseru memanggilnya. Tapi ia tidak mendengarku. Kakinya terus melangkah menuju pojok ruangan tanpa memedulikanku. Tangannya yang  kurus perlahan menyentuh guci raksasa yang pernah menyelamatkannya.
Guci itu berputar hebat. Bagai gasing. Lalu pyaaaarrrr...!!! Pecah berkeping.
Mataku basah. Tak lagi nyalang.Â
***
Malang, 28 September 2016
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H