Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rosmawati

22 Februari 2016   12:50 Diperbarui: 22 Februari 2016   13:28 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum lama aku merebahkan tubuhku di atas kasur, ponselku berkedap-kedip. Sebuah pesan singkat masuk. Terburu aku meraih kunci motor dan jaket yang tersampir di belakang  pintu.

"Sudah sore, mau kemana lagi, Ros?" tegur Erni teman sekamarku.

"Ada yang mengajakku kencan, Er!" selorohku.

"Hati-hati di jalan, Ros!" pesan Erni sebelum aku berlalu meninggalkan kamar.

Motor meluncur dengan kecepatan sedang menuju arah barat. Hawa dingin sesekali membuatku menggigil. Jaket berbulu yang kukenakan ternyata tidak mampu menahan udara Kota Malang yang menggigit.

Tiga puluh menit kemudian motorku berhenti di halaman sebuah rumah mewah. Seorang satpam mempersilakan aku masuk. Satpam itu sudah mengenalku dengan baik.


"Bapak sudah menunggu di kamarnya, Mbak Ros...."

"Terima kasih, Pak!"

Aku bergegas masuk ke dalam rumah besar itu. Langsung menuju lantai atas di mana Bapak yang mengundangku berada.

"Kamu, masuklah. Bapak sudah menunggumu dari tadi," seorang pemuda menyambutku. Tatapannya agak sinis. Aku melepas alas kakiku dan memasuki kamar yang lantainya dilapisi karpet berwarna merah. Seorang laki-laki paruh baya tampak duduk di atas tempat tidur.

"Ros! Mendekatlah," laki-laki itu melambaikan tangan ke arahku. Lalu ia memberi tanda ke arah pemuda yang masih berdiri di depan kamar agar segera menutup pintu.

Hampir dua jam aku berada dalam kamar bersama laki-laki tua itu. Aku melayaninya dengan senang hati.

Waktunya untuk pamit pulang. Laki-laki itu meraih dompetnya yang tergeletak di atas meja. Diambilnya dua lembar uang seratus ribuan. Lalu disodorkan ke arahku.

"Untuk ongkos bensin, Ros. Terimalah, jangan menolak rezeki," ujarnya seraya tersenyum. Aku menerima uang itu dan menghujaninya dengan ucapan terima kasih.

"Ros, kapan kamu datang lagi?" tanya laki-laki itu sebelum aku meninggalkan kamar.

"Insya Allah dua hari lagi, Pak," jawabku seraya menutup kembali pintu kamar dengan hati-hati.

***

Erni belum tidur ketika aku sampai di rumah.

"Dapat uang banyak, Ros?" Erni mengangkat alisnya.

"Kok kamu tahu?" aku menatapnya dengan senyum.

"Dari wajahmu itu. Sumringah," Erni menyahut. Aku melepas jaketku dan menyampirkannya kembali di belakang pintu.

"Jangan lupa menyisihkan uang untuk periksa ke dokter, Ros. Belakangan ini kudengar kamu batuk-batuk terus," Erni mengingatkan. Aku mengangguk dan merebahkan diri di samping Erni.

Malam itu aku tidur nyenyak sekali.

Hingga dering ponsel gaduh mengagetkanku.

"Astagfirullah, Er! Kenapa kamu tidak membangunkan aku? Aku kesiangan, nih...."

"Tidurmu pulas sekali, Ros. Mana tega aku membangunkanmu."

"Yah...tapi hari ini aku ada janji dengan satu pelanggan lagi," aku menyibakkan selimut dan terburu turun dari tempat tidur.

"Kamu perlu istirahat, Ros. Jangan memaksakan diri bekerja terus," Erni mengomeliku.

"Kita perlu duit banyak, Er. Waktunya bayar kamar kos, tagihan listrik dan air, juga beaya kuliahmu...."

Erni terdiam.

"Maafkan aku, Er. Aku tidak bermaksud...." Aku menyesali perkataanku.

"Ros, aku yang seharusnya minta maaf padamu. Selama ini aku selalu merepotkanmu. Semoga setelah lulus nanti aku segera dapat kerjaan, ya. Aku ingin mengembalikan semua uangmu...."

"Er, jangan berkata begitu. Aku ikhlas kok membantumu. Lagi pula, kita ini senasib. Kita tidak punya siapa-siapa di dunia ini...." Aku menghampiri Erni dan merangkulnya.

***

Malam itu sepulang dari rumah pelangganku, aku mampir ke warung Cak Man. Memesan dua bungkus bakso untuk kubawa pulang.

Sesampai di rumah, Erni menyambutku dengan wajah murung.

"Ada apa?" tanyaku mengernyit dahi.

"Ros, telingaku panas. Penghuni kos ini mulai berbisik-bisik miring mengenai dirimu.'

"Oh, itu. Biarkan saja."

"Bagaimana mungkin aku membiarkan omongan mereka yang busuk dan bau, Ros!" suara Erni mulai meninggi.

"Memang apa yang dikatakan mereka?" tanyaku sembari meletakkan bungkusan bakso di atas meja.

"Mereka bilang kamu itu lonte...."

"Cuma itu? Tak usah diambil hati. Yuk, kita makan. Bakso Cak Man ini terkenal enak, lho...." Aku mengambil dua buah mangkuk dan sendok. Kulihat Erni hanya diam menatapku.

****

Malam itu aku merasakan badanku meriang. Panas dingin. Tanpa sadar aku merintih.

Mendengar rintihanku, Erni yang terlelap di sampingku terbangun.

"Ya, Allah, Ros! Kamu demam!" Erni tergopoh memegang dahiku.

"Er, aku ingin minum...."

Erni bergegas bangun dan mengambil segelas air putih. Lalu ia membantuku duduk.

"Ros, kita ke dokter, ya..." Erni membisikiku. Aku menggeleng.

"Ros, badanmu panas sekali. Aku telpon taksi ya...." Erni meraih ponselnya.

"Er..." aku ingin mengatakan sesuatu. Tapi tubuhku tiba-tiba ambruk tak sadarkan diri.

****

Bau obat-obatan menyengat hidung. Aku berusaha membuka mata yang terasa berat. Samar-samar kulihat wajah Erni berurai air mata.

"Rosmawati, kamu harus sembuh...."

"Er...."

"Jangan banyak bergerak. Tidurlah lagi."

"Er, sini mendekatlah. Aku ingin menyampaikan sesuatu."

"Tentang penyakitmu? Dokter sudah mengatakannya padaku."

"Syukurlah jika kamu sudah tahu, Er...."

"Ros..." Erni memelukku erat.

"HIV ini sudah lama bersarang di tubuhku, Er. Penularannya bukan seperti yang dipikirkan banyak orang. Aku tidak pernah melakukan perbuatan nista. Virus ini memasuki tubuhku melalui transfusi darah."

"Aku tahu, Ros...."

"Satu lagi, Er. Maukah kamu menggantikan pekerjaanku? Tugasku belum rampung. Laki-laki tua itu lumpuh, Er. Ia memintaku datang ke rumahnya untuk menuliskan kisah hidupnya. Ia ingin membukukannya...."

"Sudahlah, Ros. Kamu istirahatlah dulu...."

"Er, berjanjilah...."

Tetiba aku merasakan tubuhku menggigil hebat. Dingin yang teramat sangat menusuk hingga tulang sum-sumku. Aku menggelinjang sesaat. Lalu pusaran angin datang bersama awan mengangkat ruhku melayang ke angkasa.

Samar-samar kudengar tangisan histeris Erni mengantar kematianku.

****

Malang, 22 Februari 2016

Lilik Fatimah Azzahra

*Sumber gambar :obyektif.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun