“Papaku sakit di rumah sakit. Aku tidak tega untuk meninggalkannya. Oh iya, ngomong-ngomong bagaimana bekerja di kantor papamu?”
Taufan mendengus. “Benar-benar bukan duniaku. Aku seperti terpenjara! Tidak bisa berbuat sesuatu seperti apa yang dikatakan kata hatiku!” Baruna tertawa. “Aku bekerja di sana karena mengikuti anjuranmu dan mencoba untuk berdamai dengan Papa, demi Mama. Tapi sungguh! Aku tidak mau berada di sana! Itu membuatku tidak bisa berpikir dan berkarya!”
Baruna menghela nafasnya. “Kalau begitu, kamu bisa gila di sana!”
“Yah! Baru seminggu aku sudah merasa mulai gila!”
“Kenapa tidak mencoba memberi pengertian pada papamu!”
“Kamu seperti tidak mengenal papaku, Bar! Dia tidak mau tahu! Apa yang diinginkannya harus selalu dilaksanakan! Oleh siapa pun!”
“Kalau dengan kata-kata dia tidak percaya maka kamu harus memberinya bukti!”
“Bukti apa?”
“Kalau kamu bisa hidup dan bahagia tanpa harus menjadi seorang pekerja kantor atau menjadi pengusaha seperti papamu!” Taufan terdiam. “Hidup tidak harus mengandalkan selembar ijazah. Tapi seperti kata pepatah, dimana ada kemauan di situ pasti ada jalan!”
“Yah, aku harus membuktikannya pada Papa!” ujar Taufan.
Keduanya kemudian duduk terdiam di atas pasir pantai sambil menatap tenggelamnya matahari. Sinar jingga nampak berpendar di cakrawala.