“Sudahlah Ma, tidak perlu kuatir. Aku hanya butuh istirahat.”
“Bagaimana tidak kuatir melihat keadaanmu seperti ini. Apalagi semakin hari badanmu semakin terlihat semakin kurus!” Mama memegang tangan Taufan. “Kalau tidak, seenggaknya kamu minum obat!” Taufan menganggukkan kepalanya dengan pelan. Asri datang membawa air dan handuk kompres. Mama langsung mengompres dahi Taufan.
“Terima kasih, Ma. Aku sayang sama Mama,” kata Taufan lirih. Mama tersenyum.
Mama dengan telaten mengompres anak bungsunya tersebut dan menyuruhnya meminum obat turun panas. Taufan menurut. Tidak lama kemudian, dia pun tertidur. Setelah suhu badannya mulai normal dan sudah tidak menggigil lagi, Mama keluar kamar.
***
“Selamat Fan, akhirnya kamu wisuda juga.” Baruna berkata sambil menjabat tangan Taufan.
“Terima kasih. Sayang sekali kamu tidak menghadiri upacara wisudaku. Padahal aku ingin sekali kamu berada di sana. Akan aku katakan kepada semuanya, kalau tanpamu mungkin aku tidak akan memakai toga dan topi wisuda.”
Baruna tertawa. “Kamu terlalu berlebihan. Itu juga berkat dirimu sendiri! Tanpa ada kemauan dalam dirimu, tanpa atau dengan adanya aku hal itu tidak mungkin terjadi.”
“Tapi kamulah yang membuat kemauanku itu ada!”
“Terima kasih kalau begitu. Tapi jujur saja, aku ingin melihat kamu diwisuda dan ingin melihat bagaimana suasana wisuda, karena aku tidak pernah merasakannya.”
“Kenapa kamu tidak ikut wisuda waktu itu?”