“Taufan!” teriak badai.
“Baruna! Mas Badai!” Taufan terbangun dari tidurnya lalu duduk. “Mas Badai, Baruna!” Dilihatnya jam dinding yang menunjukkan pukul setengah satu malam lalu mengambil segelas air putih yang disediakan oleh Asri dan Mama di atas meja di samping tempat tidurnya, meminumnya sampai habis. Setelah itu kembali membaringkan tubuhnya, beberapa saat kemudian matanya kembali terpejam.
***
Saat sarapan pagi, Papa menanyakan tentang keberadaan Taufan kepada Mama. Sambil tersenyum Mama mengatakan kalau anak bungsunya tersebut pagi-pagi sudah berpakaian rapi dan pamit akan pergi ke kantor dengan menggunakan sepeda motor.
“Benarkah? Tapi apa tidak terlalu pagi?” tanya Papa heran sambil mengernyitkan dahinya. “Kenapa juga dia tidak mau berangkat bareng Papa?”
Mama mengatakan kalau sebelum ke kantor, Taufan akan pergi ke tempat temannya terlebih dahulu. Papa kembali curiga kalau Taufan akan ke rumah Kosim. Namun Mama membela kalau apa salahnya Taufan pergi ke sana, setidaknya dia sudah mau menurut apa keinginan Papa.
“Aku takut Taufan terpengaruh oleh mereka dan mengurungkan niatnya.”
“Jangan berprasangka buruk dulu, Pa.”
“Kita lihat saja nanti. Kalau dia sampai terpengaruh lagi. Papa tidak akan memberi ampun pada anak itu!”
“Jangan bicara seperti itu Pa.”
Papa tidak menjawab dia melanjutkan sarapan paginya.