“Kenapa memangnya?” tanya Bimo.
“Sibuk! Bingung! Tegang! Kuatir! Takut! Segala rasa bercampur aduk jadi satu! Ini pertama kalinya aku melihat dan menghadapi seorang ibu akan melahirkan!” kata Bagas.
Bimo tertawa. “Sama! Aku juga baru pertama kali menghadapinya. Benar-benar tidak tahu harus apa dan bagaimana!”
Keduanya kemudian tertawa bersama. Khaerani keluar dari kamar, Amir langsung berlari kearahnya. “Bagaimana dengan ibu, Bu Lek?”
“Ibu baik-baik saja,” jawab Khaerani sambil menggandeng tangannya dan duduk bersama dengan Bagas dan Bimo.
“Maaf, jadi membuat repot kalian,” kata Bu Lek Amir tersebut kepada Bagas dan Bimo. “Tapi ngomong-ngomong, bagaimana kalian bisa bersama Amir?” Bimo menceritakan bagaimana dia dan Bagas bisa datang bersama dengan Amir. “Terima kasih, kalian mau mengantar Amir dan juga membantu kami disini. Tapi maaf, bukan maksud aku untuk mengusir kalian. Apa tidak sebaiknya kalian pulang? Kalian sudah cukup membantu disini, dan juga sudah ada Bu Bidan Annah. Nanti kalian dicari sama orang rumah.” Khaerani berkata dengan hati-hati.
Bagas tertawa. “Tenang saja, kami memang sedang dalam tugas luar,” Bagas menekankan kata tugas luar, “kami tidak sedang kabur ataupun minggat. Ya kan, Bim?” Bimo mengangguk. “Kami akan menunggu sampai adik Amir lahir.”
“Tapi kita tidak tahu, kapan adik kami akan lahir,” kata Khaerani.
“Tidak apa-apa, kami akan menunggu,” jawab Bagas.
“Apa kamu keberatan kami ada disini, Ran?” tanya Bimo tiba-tiba.
“Bukannya begitu, tapi...” Khaerani tidak melanjutkan perkataannya, Amir yang duduk disampingnya tiba-tiba memeluknya dengan erat. “Amir kenapa?”