"Tapi, saya merasa kita sebagai rakyat kecil hanya diperalat. Masuk militer menjadi prajurit hanya untuk menjadi jongos pejabat-pejabat negara."
"Jongos atau bukan, kalau seseorang memiliki kontribusi yang besar bagi negara, maka mati sekalipun dia akan tetap dikenang sepanjang masa. Sebagai pahlawan. Ya, sebagai pahlawan."
"Hah, sebagai pahlawan?!"
"Ya, sebagai pahlawan. Pahlawan yang memiliki reputasi nama seharum semerbak bunga. Pahlawan yang akan terus menerus hidup di sanubari bangsa. Bukankah hal tersebut merupakan kebanggaan yang tak ternilai harganya? Jauh melebihi jauhar yang ada di muka bumi ini."
"Kamu mirip saya sewaktu bersikeras mematuhi maklumat wamil itu. Saya menyampaikan aspirasi yang seperti kamu katakan barusan ketika menentang Ayah, yang selalu berusaha membujuk saya agar melalaikan kewajiban negara tersebut. Namun, apa yang telah kita peroleh dari serangkaian pengorbanan yang telah kita berikan?! Huh, jangankan menjadi pahlawan, jangan-jangan bila kita meninggal kelak, kita hanya akan menjadi bangkai yang membusuk dipenuhi belatung."
"Saya tidak menyalahkan pendapatmu, Bao Ling. Tapi rasanya terlalu picik kalau di saat rakyat membutuhkan kita, kita justru lari karena tidak mampu meneruskan perjuangan yang semakin berat ini."
"Jangan membujuk saya untuk tinggal lebih lama di sini, Mulan. Percuma. Kamu hanya membuang-buang waktu saja. Bagaimanapun, saya sudah memutuskan untuk meninggalkan tempat ini!"
"Saya tidak berhak melarang kamu. Kalau kamu memang mau meninggalkan Kamp Utara ini, ya silakan saja. Saya hanya memberi saran dan pandangan. Saya tidak memiliki legitimasi melarang kamu pergi."
"Terima kasih."
"Tapi, cobalah renungi sekali lagi. Rakyat sangat membutuhkan kita. Siapa lagi yang dapat membela mereka kalau bukan kita? Kamu pikir apa arwah para leluhur kita akan hidup kembali dan bertempur dengan musuh-musuh itu?"
"Tapi...."