"Saya malu atas tindakan tidak terpuji Ayah itu!" gusar Bao Ling terhadap ayahnya ketika itu.
"Nyawa kamu lebih penting dibandingkan apapun juga, A Ling!"
"Tapi nyawa saya menjadi tidak berharga lagi akibat kasus suap itu, Ayah. Saya malu, Ayah!"
"Mengertilah, A Ling. Semua yang Ayah lakukan demi kebaikan kamu juga. Ayah tidak mau putra Ayah satu-satunya gugur di medan pertempuran. Ayah rela kehilangan semua harta-benda asal tidak kehilangan kamu. Tahukah kamu, betapa berarti dan berharganya kamu bagi Ayah dan Ibu."
"Saya tidak ingin dianggap anak pengecut, Ayah. Ayah boleh saja meluputkan saya dari keharusan wamil maklumat Kaisar Yuan Ren Zhan itu dengan menyuap beberapa pejabat tinggi militer. Ayah boleh saja menggunakan bahkan seluruh kekayaan Ayah supaya saya terbebas dari kewajiban negara tersebut. Tapi, di manakah patriotisme kita sebagai anak bangsa?!"
"Tidak peduli apakah Ayah akan dianggap pengkhianat sekalipun. Yang penting Ayah tidak kehilangan orang-orang yang Ayah cintai."
"Tidak ada hal yang lebih mulia dan membanggakan apabila mati demi negara."
"Puih! Apa andil negara bagi kita?! Selama ini, pada kenyataannya, yang terjadi justru sebaliknya. Rakyatlah yang selau menjadi sapi perah bagi pemerintah. Tidak ada manifestasi penting negara untuk perbaikan dan perkembangan nasib rakyat. Selama ini, janji-janji kaisar-kaisar Tionggoan selalu jauh dari harapan rakyat. Korupsi merajalela di mana-mana. Kolusi mendarah daging di kalangan Istana. Sekarang, jangankan memikirkan negara yang di ambang perang, bahkan tidak sedikit di antara pejabat negara kita ini tidak peduli terhadap nasib bangsa. Tidak peduli terhadap penderitaan rakyat. Mereka terus saja memperkaya diri mereka sendiri. Jadi, untuk apa lagi kamu bersikeras ingin mematuhi maklumat wamil itu?!"
"Lalu, apa bedanya Ayah dengan pejabat-pejabat korup itu kalau Ayah menghalalkan segala cara untuk menyelamatkan dirilari dari tanggung jawab bela negara?! Bukankah itu egois, Ayah?!"
"Merekalah yang egois A Ling! Mumpung kita masih memiliki kemampuan finansial, kenapa tidak kita pergunakan saja untuk mengelabui mereka? Bukankah mereka juga selalu mengelabui rakyat?! Mereka adalah maling yang berteriak maling!"
"Justru karena itulah saya tidak ingin menjadi seperti mereka. Apa jadinya negara kita ini kalau semua kader dan komponen bangsa berlaku apatis, dan selalu ingin menang sendiri. Bukannya saya sok patriotik, Ayah. Bukan. Saya hanya ingin menjadi seseorang yang berguna. Seseorang yang, bila tiba saatnya menutup mata untuk selama-lamanya nanti, akan dikenang sebagai pahlawan. Bukannya sebaliknya. Sebagai penjahat!"