"Aksara?"
"Harfiahnya, QING."
"Oh, jadi semacam simbol kenegaraan."
"Betul."
"Lalu...."
"Lebih baik besok Kak Fang melihat kuilnya sendiri. Besok aku antar Kak Fang ke sana."
Kantuk yang tadi batal menyergap seluruh sendi-sendinya dipaksa untuk hadir kembali mengaliri nadinya. Gadis bertubuh bongsor itu menarik tangan Fanny, menghentikan rasa ingin tahunya yang menggebu-gebu. Sungguh, ia tidak kepingin berkisah sepanjang Tembok Besar. Bercerita tanpa margin sampai masuk angin!
Dengan berat hati diikutinya langkah Wong Pao Ling ke arah rumah. Tidak jauh dari pesisir ini. Penasarannya ditunda sampai besok. Untuk ditamatkan menjadi oleh-oleh cerita buat orang rumah di Hongkong.
***
Rumah yang dimaksud memang sebesar istana. Rumah itu merupakan peninggalan salah seorang bangsawan Hainan yang pro-kerajaan. Hartawan dari masa lalu yang turut tewas dengan kepala terpenggal.Â
Keluarga sang bangsawan pun melarikan diri ke Mongolia setelah menjadi buronon pemerintahan republik yang berkuasa tidak lama di Tiongkok.