Malam menangkup di dusun kecil itu. Sebuah desa pesisir di Kabupaten Hainan, Shandong. Tidak banyak yang dapat disaksikan di daerah asal Wushu -- beladiri tradisional Tiongkok -- ini kecuali hamparan pasir putih dengan jajaran perahu nelayan, juga rumah-rumah serupa gubuk yang menggugus dari utara ke selatan.
Fanny Wong alias Wong Mei Fang menguap lebar. Keletihan masih menggayut di sepasang mata bolanya. Perjalanan jauh menuju desa ini memang melelahkan. Setelah melalui penerbangan dari Hongkong pagi-pagi sekali tadi, ia tiba di Shanghai untuk transit menunggu transportasi darat kereta api menuju Hainan. Tiba di kota kecil Hainan, ia meneruskan perjalanan dengan menumpangi sebuah bis umum tua ke dusun tanah kelahiran ayahnya ini.
Namun, segenap keletihan itu melayang atas sambutan hangat Nenek yang memeluknya erat, serta menciumi pipinya berkali-kali. Seperti tidak pernah bertemu seabad rasanya, wanita tua itu menitikkan airmata gembira.Â
A Fang -- nama kecil Fanny -- cucunya, terakhir dilihatnya ketika masih jalan tiga. Kini bocah perempuan itu sudah menginjak remaja. Dia sudah menjelma menjadi gadis cantik. Ini sungguh anugerah dari langit untuknya!
Belasan tahun wanita tua itu memang tidak pernah bersua dengannya. Lebih memilih tinggal di daerah pedalaman bagian utara Tiongkok yang beralam keras. Rupanya lafaz hidupnya sudah mengirama di kampung ini, sehingga kegemerlapan kosmopolitan sangat babur di pandangannya.Â
Ini mungkin prinsip hidup yang dicetuskannya dalam sikap keras kepala. Menolak kehendak tulus dari putra dan menantunya, Jeffry Wong alias Wong Tak Hua -- ayahnya serta Anastasia Tun alias Tun Ing Feng -- ibunya, untuk pindah beremigrasi ke Hongkong.
Sikap itu agaknya dimafhumi benar oleh Fanny. Makanya, kesempatan liburan sekolah tidak disia-siakannya. Rindu yang memendam sekian belas tahun mesti ditawarinya dengan berkunjung ke dusun ini. Bersilaturahmi dengan Nenek, wanita tua dari pihak ayah yang hanya diakrabinya via surat dan beberapa lembar foto yang sudah sephia.
Wanita tua itu tidak tinggal sendiri. Ada cucu dari pihak anaknya yang lain. Untunglah. Kesepiannya tergebah dengan hadirnya atmosfer riuh dari gadis belia yang baru menginjak usia enam belas itu.
***
"Selamat malam, Kak Fang!"
Fanny terkesiap. Terawangan pikirannya tergebah sampai ke langit. Dialihkannya pandangannya yang konstan dari laut lepas tadi. Ada sepasang mata sipit dengan pipi setambem bakpao menyambutnya di belakang. Wong Pao Ling, saudari sepupunya yang disalaminya senja tadi berdiri mengurai simpul bibir. Tersenyum dengan mimik ceria padanya.
"Eh, malam!" balasnya.
"Hm, betah sendiri ya, Kak?"
"Habis, aku mesti bagaimana lagi. Belum genap satu hari aku di sini, jangan bilang aku mesti berkenalan satu per satu dengan penduduk kampung. Bisa kapalan semua jari-jariku nanti."
Gadis cilik itu tertawa. Sepasang matanya berbinar. Menampakkan kecerdasannya yang tersembunyi.
"Hm, besok aku ajak jalan-jalan ke Gui Shen Miao."
"Gui Shen Miao? Apa itu?"
"Kuil Hantu!"
"Ya Tuhan! Ku-kuil Hantu?!"
"He-eh. Eit, Kak Fang jangan takut! Kuil Hantu itu sebetulnya hanya sebuah bangunan rumah biasa. Tapi, konon pada waktu penghujung keruntuhan Dinasti Qing, rumah itu dijadikan tempat persembunyian prajurit-prajurit Qing, yang terdesak mundur oleh pasukan republik."
"Wah, seru! Terus, story lanjutannya bagaimana?"
Fanny antusias bukan kepalang tanggung. Kisah seram itu seasyik film-film horor Mandarin. Sertamerta ia duduk dari berdiri. Sebuah dipan serupa bangku khas Tiongkok menjadi alas duduknya. Ditariknya saudari sepupunya itu. Duduk merapat agar frekuensi suaranya tidak baur ditelan debur ombak di pantai sana. Kisah klasik itu harus sampai di telinganya dengan desibel jelas!
"Hm, rumah itu selanjutnya jadi markas para prajurit dan kasim-kasim Qing yang masih setia terhadap Kaisar Pu Yi."
"Pu Yi?! Hei, itu kan kaisar terakhir di Tiongkok."
"Betul."
"Hei, aku sudah pernah menonton filmnya beberapa tahun lalu di Hongkong. Kalau tidak salah ingat, judulnya adalah The Last Emperor."
"Betul, Kak Fang."
"Terus, kok rumah tersebut bisa jadi Kuil Hantu sih, Ling?"
"Nah, inilah ihwalnya. Setelah terdesak tidak berdaya, penyapuan terhadap sisa-sisa laskar kerajaan masih terus dilakukan. Rumah besar yang menjadi markas itu pun dibabat habis tanpa sisa. Nyaris semua prajurit Qing beserta kasim istana tewas diterjang peluru tentara republik!"
"Ja-jadi...."
"Jadi, selama belasan tahun sejak peristiwa revolusi penggulingan kerajaan Qing itu, rumah besar tersebut menjadi angker dihuni oleh arwah-arwah para prajurit Dinasti Qing."
"Ih, ngeri. Ling, kok kamu banyak tahu sih tentang Kuil Hantu itu?!"
"Hampir semua penduduk kampung ini tahu, Kak Fang!"
"Kamu pernah lihat?"
"Apa?"
"Hantu prajurit Dinasti Qing."
"Hihihi. Kak Fang! Itu kan legenda. Maksudku, kejadian historisnya memang benar iya. Tapi, hantunya itu masih tanda tanya besar."
"Tapi, kalau semua penduduk kampung tahu kalau rumah tersebut berpenghuni arwah, kok kamu meragukan soal keberadaan hantu-hantu prajurit Dinasti Qing itu?"
"Aku belum pernah melihat hantu. Itu persoalannya. Tapi konon, orang-orang yang tinggal di dekat Kuil Hantu memang sering mendengar suara gaduh dari dalam rumah tersebut. Kadang seperti suara derap-derap sepatu dari barisan prajurit, atau suara denting pedang yang tercabut dari sarungnya. Lalu, banyak hal-hal gaib lain, yang keluar dari mulut versi penduduk kampung."
"Wujud hantunya bagaimana, sih?"
"Mana aku tahu, Kak Fang!"
"Maksudku, menurut pengakuan sebagian orang kampung yang pernah melihat hantu prajurit Dinasti Qing tersebut."
"Oh. Hm, wujudnya ya seperti prajurit-prajurit khas Qing. Bertopi kuncup serupa caping untuk strata prajurit tempur, dan untuk perwiranya memakai topi hitam serupa songkok. Mereka semua berkuncir sepunggung, juga mengenakan baju jubah kebesaran Dinasti Qing yang beraksara kanji Tiongkok di punggung baju."
"Aksara?"
"Harfiahnya, QING."
"Oh, jadi semacam simbol kenegaraan."
"Betul."
"Lalu...."
"Lebih baik besok Kak Fang melihat kuilnya sendiri. Besok aku antar Kak Fang ke sana."
Kantuk yang tadi batal menyergap seluruh sendi-sendinya dipaksa untuk hadir kembali mengaliri nadinya. Gadis bertubuh bongsor itu menarik tangan Fanny, menghentikan rasa ingin tahunya yang menggebu-gebu. Sungguh, ia tidak kepingin berkisah sepanjang Tembok Besar. Bercerita tanpa margin sampai masuk angin!
Dengan berat hati diikutinya langkah Wong Pao Ling ke arah rumah. Tidak jauh dari pesisir ini. Penasarannya ditunda sampai besok. Untuk ditamatkan menjadi oleh-oleh cerita buat orang rumah di Hongkong.
***
Rumah yang dimaksud memang sebesar istana. Rumah itu merupakan peninggalan salah seorang bangsawan Hainan yang pro-kerajaan. Hartawan dari masa lalu yang turut tewas dengan kepala terpenggal.Â
Keluarga sang bangsawan pun melarikan diri ke Mongolia setelah menjadi buronon pemerintahan republik yang berkuasa tidak lama di Tiongkok.
Belasan tahun rumah tersebut tidak terawat setelah ditinggal begitu saja. Sampai pada suatu ketika, setelah tergulingnya pemerintah republik yang melarikan diri ke Pulau Taiwan, pemerintahan baru Tiongkok di era lima puluhan mengambil alih bangunan tersebut. Dan dijadikan sebagai situs negara karena banyak menyimpan relief kuno dari Dinasti Qing.
Dalam perkembangannya, rumah tersebut beralih fungsi menjadi kuil tempat pemujaan para arwah, khususnya orang-orang tua keturunan dari keluarga dan kerabat kerajaan serta simpatisan kerajaan yang jumlahnya tidak seberapa itu. Maka jadilah rumah besar serupa istana tersebut menjadi 'Gui Shen Miao' atau Kuil Hantu.
Dari hari ke hari rumor pun berkembang. Tempat yang dikeramatkan itu kerap menghadirkan fenomena aneh tak galib. Arwah para prajurit dari Dinasti Qing bergentayangan di dalamnya. Menghadirkan misteri yang sampai saat ini masih babur.
Memasuki ruang-ruang kuil yang banyak berselasar, dengan ratusan tiang bervinyet, Fanny memang serasa dihadapkan pada kenangan lawas tentang pemerintahan tiran kerajaan Tiongkok yang banyak diangkat sebagai tema dalam film klasik kolosal. Sungguh bangunan yang istimewa.
Ada banyak alwah yang terbuat dari mahoni berjejer rapi di meja persembahyangan, seperti barikade prajurit dari masa lampau. Ia mengamati dengan takzim. Banyak sekali. Mungkin ratusan. Bahkan ribuan. Semuanya berkaligrafi aksara kanji Tiongkok. Dan akhirnya ia mengangguk-angguk maklum. Itulah nama-nama prajurit Dinasti Qing yang gugur pada revolusi Tiongkok di penghujung abad sembilan belas.
Ia berjalan sendiri. Keasyikan sehingga terpisah dengan saudara misannya. Ditelusurinya isi bangunan Kuil Hantu itu dengan perasaan baur. Angin dari pantai yang masuk melalui celah-celah jendela besar meniup asap hio hingga menerpa dan memerihkan matanya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata sambil berjalan. Dan berhenti oleh sebuah benturan lunak pada badan.
Dipicingkannya mata. Ia nyaris kelengar ketika melihat sosok di depannya. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Hantu?!
"Tolong! Ada han-hantu!"
"Nona, ada apa?" tanya lelaki tua itu dengan tiga kerut di dahi.
Fanny membuka matanya lebar-lebar. Ia disambut wajah tua separo heran dengan mulut ternganga lebar. Chinesse ghost itu ternyata seorang lelaki tua pengurus dan penjaga kuil ini.
"Maaf!" ujarnya, lalu membungkuk-bungkuk hormat.
Lelaki tua bertampang lusuh mengamati dirinya lamat. Menelaah dialeknya yang asing. Dan menyimpulkan kalau gadis di hadapannya bukan berasal dari dusun ini.
"Nona berasal dari mana?"
"Hongkong."
"Oh, Hongkong. Selamat datang di Kuil Hantu ini."
"Terima kasih."
"Sudah berapa lama di sini?"
"Hm, baru juga kemarin tiba."
"Oh. Nona pasti ingin tahu banyak soal kuil ini, ya?"
"Justru karena itu aku kemari. Kakek, benar tidak kuil ini berhantu prajurit Dinasti Qing?"
Lelaki tua berbadan ringkih itu menghela napas. Ia berdeham sebentar. Menatap ubin merah-bata dengan mata menerawang. Sepasang mata kelabunya menyipit, seperti berusaha mengingat gugusan kenangan yang terpendam di memori kepalanya.
"Itu kisah lama! Sebenarnya, untuk apa diungkit-ungkit lagi? Yang sudah berlalu, biarlah berlalu. Semuanya itu seperti takdir. Satu sisi suram perjalanan panjang sejarah kemanusiaan negeri ini."
"Tapi...."
"Mungkin Nona sudah tahu kisah kuil ini dari penduduk kampung. Ya, kuil ini memang banyak menimbulkan fenomena...."
"Jadi hantu prajurit itu...?"
Lelaki tua itu tersenyum samar, menyembulkan serabut kerut di sekujur wajahnya sebagai replika saputan zaman. Giginya yang menghitam mempertegas fenomena yang tidak dapat dibantah tersebut.
"Kuil ini merupakan salah satu fitur, gambaran nyata kebudayaan manusia yang tercabik-cabik oleh egosentrisme. Dan kalaupun rumor tak galib itu tersiar luas, maka saya tidak dapat membantahnya sebagai kabar angin semata!"
"Ja-jadi... maksud Kakek, di kuil ini memang banyak hantu prajurit Dinasti Qing?!"
Lelaki tua itu memejam. Dihirupnya dalam-dalam udara pantai yang bercampur dengan asap dupa dari meja persembahyangan. Tak ada tanggapan atas keterkejutan gadis remaja di hadapannya.
"Be-berarti arwah-arwah mereka penasaran ya, Kek?!"
"Sudahlah, Nona! Jangan usik fenomena aneh yang terjadi di kuil ini! Semua itu masih misteri...."
Lelaki tua itu berlalu tanpa pamit. Meninggalkan Fanny yang berdiri terpaku dengan beragam persepsi. Kuil Hantu ini masih menyimpan banyak misteri.
Tiba-tiba Wong Pao Ling sudah berdiri di belakang Fanny. "Kak Fang, kok melamun sih?"
"Mari kita pulang!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H