Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Mati (2. Liburan 3 Anak Kota)

29 Januari 2022   16:21 Diperbarui: 29 Januari 2022   16:26 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

16 Dzulqaidah 1410 bertepatan dengan Jumat 11 Mei 1990

Jumat pagi yang cerah.  Matahari merangkak dengan sinarnya yang mulai menyilaukan mata. Hari ini adalah dimulainya waktu Sedekah Laut yaitu ritual adat dengan tujuan memberikan sesaji kepada penguasa dilaut. Sehari sebelumnya,setiap rumah dikampungku ikut menyiapkan bahan upacaranya, untuk kemudian dikumpul di rumah Datuk Emran. Setiap rumah bergotong-royong menyediakan berbagai keperluan upacara adat kampung seperti lilin, rattih yaitu padi yang disangrai sampai menjadi seperti popcorn, rokok linting daun nipah, tembakau, sirih pinang,telur ayam, buah kemiri dan paku.

Datuk Emran begitu ia dipanggil. Seorang yang pembawaannya berwajah serius. Kulitnya coklat kehitaman karena terlalu sering terpanggang oleh sengatan sinar matahari. Suaranya terdengar agak berat, perawakannya kurus tinggi, bermata agak sipit, rambut sebagian besar sudah memutih. Kumisnya menyambung dengan jenggot yang tampak rapi. Seringkali ia terlihat menghisap rokok linting kertas ditepi bibirnya. Beliau adalah sosok dukun yang disegani dan sangat terkenal di kampung kami. Ekspresi wajahnya terlihat selalu menyelidik. Garis-garis wajah di dahinya telah mengerut dengan sangat tegas. Mungkin disebabkan kebiasaannya yang selalu menelisik setiap orang terutama yang baru dilihatnya. Dan beliaulah yang mengambil peran penuh dalam upacara sedekah laut dikampung kami yang diadakan setiap tahun.

Emak suatu ketika pernah bercerita bahwa Datuk Emran dulunya pernah bekerja sebagai tenaga pengamanan, pada sebuah perusahaan kayu dikampung kami. Mungkin atas dasar pengalaman pekerjaannya yang harus melindungi, dari gangguan apapun milik tuan tempatnya mencari nafkah. Menyebabkan pembawaannya sampai saat ini, ia selalu menaruh curiga kepada siapa saja yang datang berkunjung ke kampung kami.

Pagi terus beranjak menjelang siang. Disaat pintu depan rumah diketuk orang dari luar. Aku bergegas membuka pintu. Terlihat melalui sela-sela celah susunan pintu papan kayu. Tiga tamu telah berdiri menungguku membuka pintu diluar sana. Masing-masing melihat kekiri dan kanan untuk dapat memastikan penghuni ada didalam rumah. Sekilas dari penampilannya kutebak mereka adalah anak-anak kota dari kalangan orang berpunya.

Sesaat setelah kubuka pintu dan mempersilakan masuk. Sesegera itu seorang pemuda sebayaku langsung mengulurkan tangannya kepadaku

 "Perkenalkan namaku, Fithar..ini Kemala...dan ini Amarilis Dewi dari perguruan tinggi Indrapura," pemuda bermata teduh berkulit agak gelap. Potongan rambutnya pendek. Baju kaos oblong yang dipakainya, terlihat sangat pas dibadannya karena perut yang terlihat sixpack tampak serasi dengan kaos oblong oranye yang membalut postur tubuhnya yang atletis. Pemuda berwajah dingin itu diikuti langsung oleh kedua teman gadis yang mengikutinya dari belakang.

Seorang gadis berkulit putih, berwajah ceria dan tidak terlihat kelelahan dari perjalanan panjang sebelumnya. Senyumnya sungguh manis dan lepas. Ia mengulurkan tangannya terlebih dahulu dan bersemangat

"Namaku Kemala Ismaya dan panggil saja Kemala...,"suaranya terdengar manja namun hangat.

"Suka kegiatan outdoor....mudahan libur singkat ini kami bisa melihat alam Keramat yang menjadi buah bibir teman-teman dikampus," wangi parfum semerbak menghambur dari blus kuning gading dan celana blue jeans yang agak ketat menempel sampai tungkai kakinya. Terlihat sangat percaya diri. Siang itu ia terlihat gembira sekali meski sesekali rambut hitamnya yang sebahu tersapu angin menyapu sebagian dagunya yang agak menonjol. Seorang gadis yang sangat manis.

Kemala biasa ia dipanggil, gadis yang berdiri didepanku saat ini sangat menarik perhatianku. Terlihat ia seperti gadis supel, lincah serta periang dengan hidungnya yang mancung dan bermata agak sipit, khas cantik gadis melayu. Postur tubuh yang tinggi semampai kira-kira 170 sentimeter dan berambut lurus. Dugaan kuatku ia salah satu cewek favorit dikampusnya.

Belum selesai kekagumanku dengan Kemala, kemudian aku menghadapi seorang gadis dengan tas ransel yang tampak terisi penuh dipunggungnya. Tampak kesusahan dengan beban berat yang masih dipanggulnya dan sekaligus bersiap-siap menjabat tanganku.

"Amarilis Dewi, mahasiswi pencinta alam di kampus Indrapura,"penjelasan yang diberikannya saat menyalamiku. Wajah alaminya memang terlihat cantik yang mengarah ke anggun. Semuanya tampak proporsional. Jika tersenyum tulang kedua belah pipi dengan dagu sedikit menonjol. Terlihat serasi dengan bentuk wajahnya yang oval. Senyumnya menampakkan deretan giginya yang terlihat rapi. Aku agak lama terdiam melihat tatapannya yang teduh dan sangat bersahabat. Entah kenapa seperti ada sesuatu yang berbeda dengan gadis yang terakhir kusalami ini. Hidungnya yang bangir dan sebagian rambut hitamnya tergerai panjang sampai kedada. Harum wangi semerbak seolah keluar dari blus putih bersihnya seakan melipat gandakan kecantikannya. Kuduga anggun wajahnya seperti setara saat emak masih belia.

"De..wa Kelana..cukup panggil Dewa,"kuperkenalkan namaku diiringi dengan rasa grogi. Sangat jarang kutemui sekumpulan orang yang penampilan fisiknya seperti sangat sempurna tidak kurang suatu apapun. Kukuatkan untuk menatap wajah masing-masing dengan santai. Penyakit malu tetap menderaku sepanjang perkenalan yang sebenarnya biasa saja terjadi. Tetapi dua bidadari dengan pengawalan dari seorang pangeran tampan telah membuatku serba canggung.

"Masuklah!..segera masuklah kedalam," pintaku sambil berusaha menghilangkan kegugupanku berhadapan dengan Kemala Ismaya dan Amarilis Dewi yang seakan beradu cantik. Secepatnya aku berusaha membantu menurunkan tas ranselnya yang masih dipanggulnya masing-masing.

Memang tidak ada pilihan lain bagi tamu-tamu yang datang, mereka harus menginap dirumah-rumah penduduk yang telah dikenal oleh mereka. Juga biasanya berdasarkan rekomendasi tamu yang berkunjung sebelumnya. Seperti ketiga tamuku hari ini. Meski mereka harus rela berteduh sementara dirumahku yang sempit yang masih beratap daun rumbia (Nypa fruticans). Berdinding dan berlantai papan serta dapur masak yang masih menggunakan kayu bakar.

Dapur tempat perapian yang berbentuk meja makan persegiempat. Terbuat dari papan kayu dengan isian tanah liat pada dasarnya. Disanalah kayu bakar kering disusun rapi sebelum dipakai baik yang diletakkan diatas para-para atau diruang bawah bangunan meja dapur. Pasti ada sebuah sempiung. Alat untuk mempercepat nyala api dengan cara meniupnya melalui hembusan mulut. Terbuat dari bambu sepanjang 20 sentimeter dengan diameter bambu sekitar 1 sentimeter. Jelaga hitam dipastikan menempel di hampir seluruh dinding terutama didekat tempat api yang sehari-hari selalu berkobar mematangkan segalanya.

Biasanya juga tamu yang akan pergi kesuatu tempat, akan langsung diarahkan kerumah kami. Aku secara langsung diminta bantuannya untuk mengantar kemanapun tamu ingin pergi menikmati keindahan alam. Kemungkinan aku adalah satu-satunya anak kampung lulusan sekolah menengah atas yang mau kembali kekampung halaman. Tentulah sebatas kemampuan yang aku bisa berikan. Padahal banyak lagi pemuda lainnya yang tentunya punya kemampuan. Jika sekadar untuk menemani mengenalkan alam kampungnya kepada tamu-tamu yang berkunjung. Tetapi itulah kesepakatan warga kampung yang harus dihormati sebagai keputusan tertinggi dan tak mungkin kutolak tugas mulia ini. Intinya aku bekerja secara sukarela. Sesuai minat dan ketertarikanku.Terakhir aku sangat ingin memuaskan keingintahuan tamu yang datang tanpa berfikir materi yang kudapatkan. Tetapi dengan keikhlasan bekerja melayani tamu serta selalu berusaha memberikan yang terbaik mengakibatkan rezeki yang seolah tidak terputus dari penguasa kehidupan.

"Untuk sementara....Dewi...Kemala dapat istirahat sebentar. Tas-tasnya bisa kubawa menumpang di kamar emak," ujarku sambil saja segera kutenteng dua tas ransel punggung. Dibelakangku Kemala dan Dewi mengikutiku dari belakang.

Rumah yang sempit dan kecil. Hanya terdiri dari dua kamar. Tidak ada pilihan lain untuk dua gadis cantik ini.

"Ayo, kuantar kekamar emak!" ajakku kepada dua bidadari itu. Mereka hanya mengangguk serentak sambil terlihat bingung dan ragu untuk melangkahkan kaki-kakinya yang jenjang. Seperti saja setiap langkah-langkah didepannya penuh dengan jebakan. Kemala sangat berhati-hati melangkahkan kakinya dan memegang tanganku erat. Demikian juga Dewi, ia berjalan dengan menjinjitkan kedua belah kakinya dengan matanya menatap teliti setiap bilah papan rumahku yang diinjaknya. Tangannya selalu berusaha meraih dinding seolah takut lantai-lantai papan rumahku akan amblas dan patah. Melihat keganjilan tingkah mereka, hatiku terasa geli. Begitulah kulihat kebiasaan tamu-tamuku dari kota yang baru saja datang. Terutama tamu yang belum pernah menginjakkan kakinya dirumah berlantai papan. Suatu kewajaran saja. Mereka terbiasa berjalan diatas lantai ubin semen yang kuat tetapi sangat dingin.

 "Fithar ke kamarku," lanjutku kepada Fithar belakangan. Ia kemudian mengikuti aku memasuki kamar yang hanya cukup untuk dua orang dewasa selonjoran. Isinya seperti kamar anak dikampungku lainnya. Lantainya hanya dialas tikar pandan buatan emak yang ayamannya sudah banyak lepas terutama bagian pinggirnya.

"Dewa,bawa teh panas ini di meja depan!" emak memanggilku dari dapur yang sedari tadi sudah tahu ada tamu.

"Minta mereka untuk beristirahat dirumah kita sampai dengan Jumat depan... dan waktu sedekah laut selesai," sambung emak setengah berbisik ketelingaku saat aku mau mengantar teh hangat yang telah dibuatnya. Emak tampak gundah. Suaranya terasa berat. Wajahnya seperti menyimpan kegelisahan yang tidak terkatakan. Tidak seperti biasanya. Emak yang biasa tegar. Saat ini matanya menatap tajam kepadaku agar menyampaikan pesannya kepada tiga tamuku tersebut. Emak juga mungkin sadar bahwa keinginannya akan sulit disetujui oleh ketiga tamu tersebut.

"Iya Mak,"jawabku singkat sambil berusaha meyakinkannya bahwa pesannya akan kusampaikan terutama kepada Fithar. Meski aku sendiri juga sadar, menunggu selama itu bukan pilihan terbaik bagi petualang muda dan enerjik seperti mereka.

 "Kita rencana akan berangkat langsung ke Pulau Penyu hari ini juga, Mak" ungkap Kemala dengan nada yang sangat simpatik saat ia bertemu emak langsung.

"Menginap dulu Nak! dirumah emak untuk beberapa hari" balas emak datar berusaha sambil menyembunyikan kegelisahannya. Aku anaknya sangat mengetahui itu.

Kemala seperti berusaha meminta persetujuan emak langsung sambil sesekali menganggukkan kepalanya. Perbincangan mulai menampakkan keakraban. Seiring udara diluar sana yang menerobos keruangan juga mulai memberikan rasa hangat didalam ruang tengah rumah kami.

"Rencananya kita Selasa atau Rabu sudah kembali ke kota karena harus masuk kampus lagi, Mak" Fithar menyambung akrab dengan muka penuh harap ada izin dari emak langsung. Dewi yang tampak kelelahan tetap berusaha tersenyum sambil menganggukkan kepalanya sebagai tanda menyetujui pendapat Fithar. Sepertinya mereka berusaha mempercepat mendapatkan persetujuan. Aku sendiri merasa langsung luluh dan merasa tidak sanggup untuk menolak permintaan mereka.

"Sebenarnya ingin sekali menginap disini, tetapi waktu kami sangat singkat, Mak!" Dewi kembali meyakinkan emak agar perjalanan mereka bisa terus lanjut dihari yang sama. Tanjung Buih terdiam seribu bahasa dengan mimik wajah berusaha tersenyum mendengarkan alasan-alasan yang disampaikan oleh tiga tamuku hari ini. Ia seperti sangat memperhatikan detil Amarilis Dewi. Ah...seperti pinang dibelah dua, gumamku dalam hati sekaligus berdecak kagum yang si Tanjung Buih memanglah sangat sepadan kecantikannya dengan Amarilis Dewi seorang gadis terpelajar dari kota itu. Terlihat mereka juga langsung akrab meski tidak selalu duduk berhadap-hadapan. Beberapa kali kulihat emak mencuri pandang ke Dewi yang duduk disampingnya. Kemudian sesaat, ia melamunkan sesuatu seperti berusaha mengingat memori lama yang sangat penting dalam hidupnya. Apakah seorang Tanjung Buih lagi berusaha untuk menjodohkan aku dengan kembarannya ini? Benakku membatin dan mudahan ada jalan menuju kesana. 

Sepanjang pengalamanku selama ini. Rata-rata tamuku selama ini adalah petualang sejati. Rencana telah dibuat jauh hari sebelumnya. Sangat jarang yang dieksekusi tidak sesuai rencana. Pulau Penyu, menjelajah hutan mangrove dan bermalam di jermal[1] adalah tiga rencana  kegiatan utama yang diutarakan oleh Fithar saat kami mengobrol bersama diruang tengah barusan. Terlihat dari wajahnya masing-masing sangat bersemangat untuk sesegera mungkin sampai ditempat tujuan.

 

"Referensi kegiatan itu asalnya dari teman-teman kampus yang sebelumnya sudah berkunjung ke Pulau Penyu", Fithar pemuda yang tampak kalem dan misterius itu menjelaskan sambil menoleh kepadaku.

 

"Hampir semua tamu-tamu memang minta berkunjung kesana, Fithar," balasku menguatkan. Berdasarkan pengalamanku,rencana utama biasanya dapat tereksekusi dengan baik. Penambahan agenda lainnya saat dilapangan biasa saja terjadi. Sehingga menyebabkan penambahan lama hari berkunjung. Penambahan satu atau dua hari sepertinya sudah biasa terjadi sebelumnya karena tamu-tamu merasa belum puas menjelajahi setiap jengkal pulau yang seperti menyimpan misteri didalam keindahannya.

 

Tiba-tiba emak tampak dalam ekspresi resah gelisah melirikku dan berkata "Dewa...coba kamu temui Datuk Emran dulu... dan katakan akan rencana kalian ini!" pinta emak penuh harap agar aku segera bergegas kerumah Datuk Emran. Tidak pernah emak meminta hal tersebut sebelumnya. Bahkan sebelumnya pernah ia meminta untuk aku tidak usah menemuinya, meski untuk urusan terkait upacara adat dikampung.  

 

Dari bisik-bisik banyak orang tua,tetapi aku anggap angin lalu saja,dikatakan bahwa emak merupakan orang yang sangat dicintai secara diam-diam oleh Datuk Emran sampai dengan detik ini. Buktinya,sampai saat ini Datuk Emran memang belum punya pendamping hidup dikarenakan beliau telah patah hati ditolak cintanya oleh emakku Tanjung Buih. Tetapi bagiku itu adalah cerita masa lalu mereka. Saat ini adalah apa yang ada sekarang. Harapanku tidak akan ada yang berubah.

 

Tetapi saat ini situasinya sangat berbeda. Emak sepertinya sangat khawatir akan kami. Sepertinya beliau mempunyai firasat yang kuat akan ada sesuatu kejadian didepan yang tidak kami ketahui. Keanehan lain yaitu saat aku diminta mendatangi Datuk Emran. Telah diketahui umum bahwa Datuk Emran punya kemampuan mengobati orang-orang kampung secara adat. Beliau juga dipercaya satu-satunya orang yang dapat berkomunikasi dengan mahluk astral di kampungku.

 

"Kalian pergi saja Dewa!" Datuk Emran membiarkan kami untuk pergi. Dikatakannya dengan suara berat dan tangannya memutar-mutar rokok kertas linting yang bau tembakau timbangnya sangat menyengat dan asap mengurung penuh wajahnya. Matanya terlihat bertambah menyipit seperti membayangkan sesuatu yang aneh didepannya. Kenapa sekarang orang-orang menjadi aneh? aku membatin.

 

"Tiada apa yang perlu kau risaukan...pergilah!," sambungnya setelah beberapa saat hening dan ia kemudian seperti kembali melihat sesuatu yang sangat jelas bermain-main diujung penglihatannya. Dari kerutan dahi dikeningnya tentu sorot mata si pemburu cinta Tanjung Buih ini membayangkan sesuatu kejadian yang sangat mencekam.

 

"Datuk, inikan masih waktu sedekah laut!," balasku spontan sambil menatap matanya yang sudah semakin menyipit. Bola matanya yang hitam seperti hilang karena ia berusaha keras menerawang sesuatu dari wajahku. Pria tua aneh. Tentu aku beruntung tidak berayahkan orang aneh didepanku ini, fikirku kembali dalam hati.

 

"Nanti, menginap saja di jermalku, Dewa!," pesannya jelas dan sesuai dengan niat awalku untuk menginap semalam disana dikarenakan sangat dekat dengan Pulau Penyu.

 

"Baik Tuk," jawabku singkat dan ingin menghakhiri segera percakapan dengannya.

 

"Segera kembali saja kalian Dewa!" balasnya kembali dengan nada tegas. Tetapi apakah menyuruhku meninggalkannya segera atau kembali melanjutkan rencana kami. Mulutnya masih terlihat komat kamit. Ia tersenyum kecut dengan senyum yang terlihat masam. Kepalanya mengangguk-angguk terlihat sangat puas. Sedang kepalaku masih dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang sulit kuungkapkan.

 

"Tiada apa juga yang perlu dirisaukan dengan ketiga teman kota tinggi [2]mu itu" balasnya sambil terbatuk-batuk kecil karena asap rokok kertas lintingnya yang seperti telah memenuhi seisi ruangan rumah yang berdinding papan kayu tua tersebut. Pernyataan justru kembali menambah ke tidak mengertian ku lagi.

 

 "Mahasiswa Indrapura,Datuk,bukan kota tinggi" aku berusaha meluruskan ucapannya.

 

"Ya..dapat kufahami," senyumnya tetap kecut dengan sorot matanya yang tajam menyelidik. Saat ini pandangannya mengarah ke atas langit-langit rumahnya yang beberapa bagian atap rumbianya menjadi tempat cahaya masuk langsung sampai ke lantai papan yang mulai merenggang karena usia pemakaiannya yang sudah lama.

 

Sepanjang perjalanan kembali kerumah aku tidak habis fikir kenapa dia justru memperbolehkan kami pergi. Setahuku saat sedekah laut berlangsung, apapun aktifitas yang mengarah kelaut sangat terlarang secara adat.

 

Apakah senyum misterinya justru ia sangat mengharapkan aku.. juga akan seperti ayah dan adikku yang belum kembali sampai dengan saat ini? bisikku dalam hati. Terbuktilah pembicaraan orang, akan keinginan orang misterius didepanku ini yang selalu ingin mendapatkan kesempatan kembali merebut hati Tanjung Buih dengan berbagai cara.

 

Astaghfirullah..!,gumamku sendiri dalam hati karena telah berfikir yang tidak seharusnya kufikirkan. Tetapi sepertinya asumsiku cukup beralasan. Dengan tiadanya anak lelaki satu-satunya akan memudahkan Datuk Emran mendekati kembali emak. Aku anak laki satu-satunya tertinggal dan selama ini selalu membela dan akan berdiri tegak paling depan jika emak memerlukannya. Semata-mata kulakukan untuk mengabdikan diri kepada orangtua satu-satunya yang masih ada didepan mataku.

 

Sekembali kerumah kulihat mereka masih mengobrol santai di ruang tengah rumah.

 

"Dewa!, Pulau Penyu saat malam hari banyak penyu naik kedarat untuk bertelur," Tiba-tiba aku diberondong pernyataan oleh Fithar yang memang benar adanya. Ekspresi matanya tampak bersemangat, seiring dengan keingintahuannya yang besar sedang membayangkan situasinya yang nyata. Lelaki yang terlihat akrab sejak kedatangannya dengan Kemala. Sepertinya mereka mempunyai hubungan yang dekat dan tidak hanya sekadar teman biasa. Fithar yang rapi dan bertubuh atletis, dengan Kemala yang cantik khas gadis Melayu; mereka tampak serasi di mataku.

 

"Hutan mangrovenya lebat dan kerangnya banyak juga diberitahukan oleh temanku," kata Kemala dengan senyum lepas penuh semangat. Kadang ia membetulkan rambut yang jatuh terurai kedepan yang mengenai wajahnya. Hanya dengan jari telunjuknya. ia merapikan rambutnya kesamping telinga kanannya saja.

 

Di dapur. Api kayu ditungku kayu tempat menjejerang air seperti masih menyala hebat. Tempat Seroja biasa bercengkrama bersama Tanjung Buih. Mereka terlibat pembicaraan yang sangat serius. Ditengah pembicaraan yang menggunakan bahasa isyarat kadang terdengar olehku suara Seroja yang khas untuk menekankan maksud pembicaraanya. Seperti biasa emak mengerti apa yang dimaksudkan Seroja. Tetapi pasti sepertinya mereka lagi membicarakan keberangkatan kami ke Pulau Penyu hari ini. Berulang kali Seroja menatapku tajam. Kemudian kembali berkomunikasi dengan emak menggunakan bahasa isyarat yang banyak tidak kufahami.

 

"Diminta saja lagi tamumu untuk terus bermalam dirumah kita, Dewa!.. sampai dengan waktu sedekah laut selesai Jumat minggu depan," pinta emak agar kami membatalkan rencana kepergian hari ini. Terlihat kegusarannya. Padahal izin dari Datuk Emran telah dikantongi. Ia berusaha meyakinkanku dengan menatapku tajam. Tidak pernah kejadian sebelumnya seperti ini. Emak sepertinya memintaku penuh harap untuk tidak mengikuti saran Datuk Emran.

 

"Bu, mereka cantik-cantik ya, terutama Amarilis Dewi!" kata-kataku mengalir lancar tanpa hambatan seperti air selokan dibukit yang mengalir deras setelah hujan. Aku berupaya mengalihkan perhatiannya. Sebelumnya perkataan tersebut tidak pernah dan berani kuutarakan sama sekali.

 

"Kau menyenangi gadis-gadis cantik itu, Nak?" kening emak terlihat mengernyit serius. Mukanya seketika seperti pucat pasi. Seharusnya ia gembira. Tiba-tiba saja anak laki-lakinya berani dan tertarik dengan lawan jenis. Sepertinya ia masih penuh selidik akan keseriusan dari apa yang baru saja kukatakan. Sejenak ia tertegun menatap keatas langit-langit rumahku. Kemudian ia kembali tertunduk dan seperti tersenyum terpaksa. Matanya kulihat seperti menerawang jauh kedepan. Aku sendiri tidak bisa menebak. Seakan ada sebuah rahasia besar dalam hidupnya. Dan tidak ada seorang pun yang tahu tentang itu. Atau mungkin naluri keibuannya mulai bekerja sehubungan dengan pernyataanku yang diluar dugaannya, fikirku dalam hati. Aku tidak berani lagi untuk berkata-kata. Dan aku membiarkan keadaan dengan apa yang ada dikepalanya masing-masing.

 

Emak mendekatiku dan kemudian berbisik pelan tetapi sangat tegas ucapannya

 

"Anakku!" seorang Junjung Buih yang selama ini kuketahui lembut dan tegas, sekarang terlihat malahan kebalikannya yaitu penuh keragu-raguan dan kekhawatiran. 

 

 "Kau hanya boleh berteman saja dengan gadis-gadis rupawan itu!" emak melanjutkan. Suara berbisiknya tegas sembari telunjuknya jelas lurus mengarah kepada tamuku yang masih duduk santai diruang tamu. Ia mengalihkan pandangannya jauh diluar sana. Matanya seolah menerawang jauh melalui satu-satunya jendela yang ada di dapur. Tanggapan emak sangat tidak seperti yang kuharapkan. Seharusnya ia berbunga-bunga dan bergembira senang saat anak laki-lakinya sudah mulai memikirkan pasangan hidupnya sendiri.

 

Seorang yang bernama Tanjung Buih adalah seorang yang tegas. Ia akan mengatakan sesuatu secara tegas jika disetujuinya, sebaliknya kata "tidak" tidak segan  dikatakannya jika ia tidak berkenan. Disisi lain, saat ini aku juga tidak memungkiri suara hati kecilku. Tidak seperti biasanya, saat ini aku merasa sangat bersemangat dan gembira lebih dari biasanya. Sebelumya, aku tidak ambil peduli jika berhadapan dengan tamu gadis yang juga tidak kalah cantiknya dengan Dewi dan Kemala saat ini. Biasanya, aku hanya konsentrasi akan tugasku untuk melayani mereka sebaik mungkin disepanjang perjalanan .

 

"Aku harap mereka mau menunda kepergiannya, Mak" balasku singkat memecah kebuntuan pembicaraan kami didapur dekat tungku perapian yang apinya sudah mulai menjadi bara kayu kemerahan.

 

"Meski libur kampusnya singkat," sambungku datar.

 

"Kulihat justru Dewi, Kemala dan Fithar yang sangat ingin segera sampai di Pulau Penyu hari ini, Mak,"lanjutku kembali memberikan alasan jika akhirnya sesuai dengan rencana.

 

"Benar Mak, besok sudah hari Sabtu dan sebelum Jumat kami harus kembali lagi ke kota untuk persiapan masuk kampus," balas Fithar sesaat setelah ia ikut nimbrung mengobrol bersama diruang dapur. Sepertinya mereka ingin segera sampai ke Pulau Penyu, sesuai niat mereka semula sejak berangkat dari kota ke kampung Keramat.

 

 "Kami tidak ingin merepotkan, jika harus bermalam sampai dengan Jumat depan,Mak," sela Dewi yang sejak bertemu dengan Tanjung Buih mulai terlibat percakapan hangat dan akrab.

 

Jantungku terasa berdetak kencang. Terutama saat memperhatikan Dewi, gadis cantik dengan senyum lebarnya yang tampak sumringah alami. Sedikit sapuan lipstik tipis merah muda dibibirnya. Kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih. Sesekali dibetulkan rambutnya yang tampak tebal tersapu angin menutupi sebagian wajahnya yang tampak tenang dan dengan mata yang terlihat teduh. Komunikasinya sepertinya sangat nyambung dan tanpa sekat. Seperti seorang emak dan anak gadis manjanya yang telah lama tidak bertemu. Rasanya aku tidak ingin menganggu sedetikpun saat mereka sedang bercengkrama intim. Senyum gembira tidak lepas dari dua perempuan beda usia yang sangat banyak kemiripannya terutama postur tubuh serta gestur terutama saat berbicara dan berjalan.

 

  Rasa iriku muncul. Ingin rasanya aku yang menggantikan tempat emak saat itu. Aku sangat mengharapkan kesempatan itu terjadi. Wanita cantik yang sepertinya didatangkan khusus untukku, fikirku dalam hati.

 

"Beristirahatlah lebih lama disini dan Emak sangat senang sekali, Nak!" Emak dengan telaten seperti membujuk Dewi. Tangan emak juga terlihat tanpa segan mengelus-elus rambut Dewi dengan rasa sayang. Sepertinya emak sangat merindukan kakak perempuanku yang belum kembali sampai dengan saat ini. Kelihatan ia juga seperti tidak rela ketiga tamuku ini segera pergi dari rumah. Ia meyakinkan bahwa tidak ada masalah jika ketiga tamu ini menunggu dirumah kami sampai acara adat selesai dilaksanakan.

 

 "Tidak apa-apa,Mak. Hari ini kami tetap pergi. Semoga urusan kami dimudahkan" Fithar menyela sambil menatap emak meyakinkan. Ia seperti kembali berusaha meyakinkan emak yang tampak khawatir dari raut wajah emak yang tidak bisa disembunyikannya. Tetapi emak masih berusaha untuk tersenyum, meski aku tahu sekali seorang Tanjung Buih bahwa itu suatu ekspresi yang dipaksakannya. Kemudian ia kembali menatap Dewi. Agak lama dan dielusnya kembali rambut Dewi pelan. Seperti seseorang yang tidak rela harus segera berpisah setelah lama tidak bertemu.

 

 "Hati-hati membawa tamu kita ini ya Dewa" pinta emak kepadaku karena sepertinya ia luluh tiada kuasa untuk menahan tamuku lebih lama. Tambahan lagi Datuk Emran juga telah mengizinkannya.  Tambahan, emak tidak tahu lagi untuk mencari cara agar tamu-tamu tersebut untuk dapat bertahan menunggu lebih lama.

 

 "Yess...!, kita hari ini bisa melihat penyu eksotis yang sedang bertelur," gumam Fithar dengan tekanan suara rendah sekaligus menghormati emak yang setengah tidak rela melepaskan kami pergi. Gembira seketika menyeruak. Kemala dan Dewi yang sedari tadi nampak selalu duduk disamping emak langsung tersenyum mengembang. Senyum suka cita yang seketika keduanya mengarah kepadaku. Darahku terasa berdesir. Jantungku terasa berdetak lebih kencang. Kejadian yang sebenarnya sangat kunantikan. Jauh dari lubuk hati terdalam. Sejujurnya aku takut berharap lebih. Meski fikiran dan hatiku sudah mulai terusik dengan hadirnya dua bidadari cantik dirumahku tersebut.

"Yuppp...kita kesana sekarang...!"Dewi langsung kegirangan yang sejak tadi kulihat tangannya terlihat mengenggam hangat tangan emak yang berada disampingnya. Dalam hatiku berkata yang mereka kelihatannya akan sangat cocok jika hubungannya sebagai emak dan menantu. Aku tersenyum puas sendiri. Keinginan kuat mereka untuk dapat menyebrang ke Pulau Penyu hari ini sepertinya menjadi kenyataan dan sudah tidak dapat terbendung lagi.

Emak sangat tahu bahwa aku adalah tipikal orang yang tidak bisa menolak permintaan pertolongan orang lain. Salah satu pertimbangannya untuk kami dapat melanjutkan perjalanan. Sifatku yang tidak tega. Sepertinya itulah alasan aku dijadikan tokoh kunci oleh masyarakat kampung jika ada orang yang akan bepergian ke seberang pulau. Pastinya aku menjadi orang pertama yang direkomendasikan.

Emak kadang bercerita. Tamu yang kubawa melaporkan bahwa mereka sangat merasa puas dengan layananku saat bepergian. Banyak dari mereka kemudian menitipkan lewat emak uang tip tambahan. Hal tersebut pasti akan aku tolak jika diberikan langsung kepadaku. Terutama hal-hal diluar kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.

Ada juga hal lucu. Seperti yang dikatakan emak dimana seorang tamu pernah mengatakan

 "Aku sebenarnya ingin banyak menghabiskan waktu mengobrol dengan Dewa,!" Sehingga kemudian emak mengingatkanku untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan tamuku. Meski hanya sekadar mengobrol ringan.

"Aku ingin fokus di pekerjaanku saja, Mak" alasanku sekenanya yang bisa kujawab. Jujur sebelumnya aku merasa tidak tertarik hal-hal diluar pekerjaanku, kecuali untuk memberikan kenyamanan dan keamanan tamu-tamuku selama di perjalanan.

"Ia seperti menjaga jarak, apakah Dewa sudah menjadi milik orang lain?" adalah contoh lain komentar tamu-tamu ke emak.

 "Justru mereka mengatakan kalau kau itu sombong, Nak" lanjut emak lagi

"Biarlah, bentuk kepedulianku mungkin beda, Mak" kataku tanpa beban memberikan penjelasan dengan senyum kepada emak. Artinya aku meminta emak untuk tidak gusar akan hal tersebut.

Ada suatu ketika. Seorang gadis yang secara berani mengatakan langsung jatuh cinta kepadaku. Justru aku yang sangat ketakutan. Terutama dengan tipe gadis yang melihatku seperti binatang buruan. Bayangkan seperti singa lapar yang sedang melihat rusa gemuk di gurun yang gersang. Intinya aku akan menghindar sejauh mungkin sebelum singa itu mendekat.  Kadang dikatakannya, bahwa jatuh cintanya justru dari sifatku yang katanya sangat 'cool' yang tidak banyak bicara, berkulit hitam manis, bermata teduh, hidung mancung serta rambut pendek yang terlihat selalu rapi. Tentu dengan sikapku yang selalu siap membantu terutama saat diperjalanan. Intinya aku dianggap pria yang sangat bertanggungjawab. Padahal itu adalah bagian dari tugas yang harus kukerjakan dengan baik. 

"Aku masih senang melajang dan bebas, Mak"

"Sampai nanti aku bisa menemukannya" itulah jawaban-jawaban standarku saat emak menanyakan siapa teman dekat perempuanku.

 "Apakah kita siap berangkat?" Fithar menepuk pundakku dari belakang.

"Sepertinya kita bisa berangkat diatas pukul 1 siang nanti," balasku untuk memberi kepastian waktu sambil membereskan peralatan dan perlengkapan kerja yang harus kubawa.

"Syukurlah!" seru Kemala

"Aku juga tidak sabar ingin melihat penyu bertelur!" sahut Dewi sambil menggoyang-goyang tangan emak yang masih digenggamnya erat.

Kami segera bersiap menuju pelabuhan kampung dimana tempat bongkar muat orang dan barang dilakukan. Pelabuhan sungai adalah tempat ramai untuk ukuran kampung. Beberapa toko semi permanen berderet. Menjajakan berbagai keperluan sembako harian. Tersedia juga beberapa meja dan kursi kayu tempat warga melepas penat setelah lelah bekerja serta berbincang sambil minum kopi dan jajan kue-kue tradisional.

Disudut dapur rumah. Emak ditemani Seroja masih duduk termangu tanpa kata-kata . Sorot mata mereka hanya tampak ada kegelisahan dan kecemasan. Anak lelaki satu-satunya yang tertinggal, pergi dalam situasi pantangan adat kampung yang dilanggar. Dilain sisi, emak seperti juga denganku. Sering tidak bisa menolak orang-orang yang memerlukan bantuan.

Emak mungkin masih tidak habis fikir mengapa Datuk Emran mempersilakan kami melanggar adat. Apakah mungkin Datuk Emran mempunyai rencana lain yang tidak aku dan emak ketahui. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menggelayut difikiranku. Dengan situasi seperti ini, artinya emak harus siap nelangsa dengan kesendirian yang panjang. Jika suatu saat aku anak satu-satunya, tidak kembali kerumah seperti yang direncanakan.

Seroja yang menemaninya juga larut dalam hening kesunyian. Wanita bisu yang setia menemani emak disaat senang dan susah itu seperti juga larut dalam kegelisahan yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun