"Wildan! Tangkap!" Sebuah bola melayang ke arahku lemparan dari orang di sebelah.
"Oi!" Sahutku sambil menangkap dan melemparkannya ke dasar lapangan kemudian berlari menuju tiang dengan ring yang menggantung. Posisi paling eksotis dan gaya yang sangat keren aku melompat dan mengarahkan bola tadi ke dalam ring dan yak tepat sasaran.Â
"Woow!" Sorak kami satu tim.Â
Satu shooting itu sekaligus penutup latihan sore ini karena mentari sore itu sudah hendak rehat dari panggung langit bumi, kami pun juga butuh istirahat.
"Far, aku mau sholat ikut ngga?" Ucapku sambil mengusap wajah dengan handuk.
"Yo, bentar mau minum. Ka, ikut yuk sholat biar pulang tenang!" Ucap Zafar sambil meneguk air dingin yang disimpan kan pacarnya sebelum pulang.Â
"Yoi." Ucap Azka mendekat setelah memungut bola untuk disimpan di gudang.
    Sosok perempuan yang masih berseragam baru saja keluar bersama empat karibnya. Senyumnya itu, seperti tetes air dari daun sehabis hujan, sejuk dan murni. Mereka memasuki masjid seketika gurauan mereka langsung senyap. Selepas berwudhu aku mendengar sayup-sayup suara kecil sedang membaca surat pendek memimpin sholat Maghrib, rupanya mereka sedang berjamaah. Suara itu begitu tenang membuat rasa lelah apapun akan lenyap saat mendengarnya.
   Selepas sholat Maghrib kami masih berleha-leha di depan masjid sekolah. Zafar yang setengah tertidur dan aku yang melamun. Kami berdua menunggu Azka menelepon pacarnya yang katanya sedang kangen. Bulshit, padahal mereka baru bertemu tadi sebelum latihan. Secepat itukah rasa rindu itu datang, perasaan aku dulu berpacaran dengan Nirina tak begitu. Tak lama beberapa gerombolan perempuan yang kulihat masuk masjid tadi melintas di depan kami. Sontak aku terbangun dari rebahan sambil memandang satu orang diantara mereka yang memiliki wajah paling teduh.Â
"Mereka gabut ya di sekolah belum pulang juga? Mana cewek-cewek lagi." Sahutku setelah kepergian mereka.
"Oh tadi yang bareng Elin? Itu anak OSIS bro, mungkin lagi rapat." Matanya masih berpaku pada video call dengan pacarnyaÂ
"Oh.. OSIS.." jawabku lirih.
   Seminggu sudah kami masuk kelas secara luring setelah covid. Dan baru sadar bahwa perempuan sejuk itu sekelas denganku. Kemana saja mataku selama ini sampai-sampai tak menyadari kehadirannya. Seharusnya banyak orang yang tau tentangnya karena notabene nya sebagai seorang anggota OSIS. Tapi dia malah lain, seakan dia berlian yang tersembunyi di tutup-tutupi dan aku penemunya.Â
"Diyan, Silahkan maju bacakan surah yang tadi dihafalkan" Ucap ustadz Amrih guru PAI.Â
Aku menangkap mata terkejutnya, dia anak yang cukup pemalu dan pendiam. Tapi sangat aneh ketika aku melihat dia bisa se hiperaktif itu ketika dia hanya bersama teman-teman dekatnya. Sungguh anak yang aneh. Kalimat demi kalimat ia baca sepenuh hati meski kentara bahwa ia sangat malu ditunjuk ke depan. Tapi rasanya hatiku sejuk dan tenang meski tahu artinya saja tidak.Â
"Masyaallah, suara merdu ukhti islamiah memang beda." Celetuk teman perempuan yang dulu se SMP. Â
"Se ukhti itu Diyan." Sahut sebelahnya, namanya Ari. Ari itu cewek paling cantik sejak SMP, sejak SMP pun dia idola sekolah. Dan sekarang, dimana banyak teman SMP yang melanjutkan di SMA yang sama tentu membuatnya masih mendapatkan kedudukan idola sekolah. Karena fans nya semua ikut pindah kesini. Bahkan teman kelasku 90% dari SMP ku.
   Kali ini kemajuan singkat, aku tau namanya yang cukup pasaran, dengan sikap cukup pendiam dan pemalu. Sangat mengherankan sekali bagaimana bisa aku memiliki ketertarikan yang belum bisa aku artikan. Seakan ada rasa peduli pada setiap gerak geriknya, padahal cantik juga tidak sebanding dengan Ari.Â
  "Wildan, nanti kelompokan ya! Jangan lupa, awas kamu nanti di bawah trembesi!" Ucap Asa.Â
"Iya, nanti mampir aku, kabarin kalau selesai ya!" Godaku
"Terserah kalau ngga ikut, ngga dapet nilai! Ngga mau aku nulis nama orang yang engga kerja!" ucapnya sambil melengos dan pergi bersama yang lainnya.Â
Meski aku bukan anak rajin, tapi tentu saja aku akan membantu walau tak akan banyak yang ku bantu. Dan se-mengejutkan itu hidupku baru-baru ini, kenapa setiap kali rasanya aku dan Diyan cukup terikat. Setiap menengok kanan kiri ada dia, setiap aku kesana-sini selalu ketemu, dan sekarang malah sekelompok.Â
  Aku cuma duduk sambil menggunting kertas yang diminta anak-anak perempuan. Yak, di kelas kami para perempuan sangat menonjol dan kami laki-laki jarang menyumbangsikan ide.Â
"Kita tambahkan bagian ini ya disini gimana? Aku rasa bagian ini kurang mendukung."Â
"Bagus! Aku dari tadi mikir juga, apa yang kurang dari tugas kita, kalau ini gimana Diyan? Katamu, kalau kita pakai ini sesuai engga?" Tanya Ari.
"Boleh-boleh, bagus kok. Tapi tambahin kalimat ini terus sini bentar ku tuliskan aja boleh?" Ucapnya sopan dan tersenyum.
Kali ini aku baru merasa kaget, Diyan yang selama ini kulihat diam kini bersuara. Memang dia bersuara, sepertinya aku yang sering tak memperhatikan.Â
"Eh, sholat dulu yuk, udah jam segini kita lanjut nanti gimana?"Â
"Masyaallah!" Sahut yang lain serempak mengucap kalimat thayyibah yang sangat asing di mulut masing-masing.Â
"Memang Diyan paling positif auranya!" Ucap Mega.Â
"Kita belum tentu tau watak orang, keliatannya baik mana tau dalemnya. Jangan melihat dari cover aja!" Celetukku secara spontan membuat semuanya menatapku bahkan aku pun kaget bisa mengucap hal itu. Kali ini aku baru melihat wajahnya yang kesal, bukan marah tapi lebih ke ingin menangis tipis dengan tersenyum kecut.Â
"Ih kamu yang terlalu transparan. Udah luarnya jelek dalemnya juga jelek!" Ucap Mega.
"Udah yuk, sholat dulu. Yuk Diyan!" Ajak Ari.Â
   Meski tadi terdengar bercanda tapi jujur saja, aku merasa bersalah. Rasanya dada ini sesak melihat dia mau menangis. Kenapa, padahal aku pun terbiasa bercanda dan membuat beberapa orang menangis karena bercandaku. Tapi dia berbeda, rasanya lega seperti dipeluk saat dia tersenyum. Tapi saat dia mau menangis rasanya seperti disayat pisau di leher. Aku memutuskan untuk cuek, dan menghindarinya setelah itu. Rasanya terlibat dengannya membuatku semakin aneh. Seperti tidak wajar dan sangat mengganggu pikiran.
   Sekian bulan selalu terkait dengannya meski ku hadapi dengan membuatnya seakan tak ada. Padahal dalam alam bawa sadar saja aku sangat menghendaki kehadirannya. Sore itu aku melihatnya bermata merah nanar sedang sendiri di belakang tembok. Muncul lagi rasa sesak yang tak ku senangi. Aku ingin menghampirinya, entah kenapa kakiku tiba-tiba tergerak untuk mendekat. Kami sempat bertatapan, namun dia justru berlari ke arah kamar mandi perempuan yang tidak mungkin ikut ku masuki. Jadi, ku biarkan saja dia dan melanjutkan langkahku untuk bermain basket.Â
"Dan, Fokus dong!" Teriak Azka yang sedang mengoper bola ke arahku namun justru menabrak kepalaku.
"Break! Break dulu deh, minum yuk." Sahut Putra sambil ngos-ngosan.
Kepalaku sedang tidak disini, rasanya ia masih tertinggal di tempat tadi aku bertatapan dengannya. Dimana teman-temannya sampai dia menangis sendiri seperti itu, apa mungkin mereka berantem? Atau bagaimana. Kacau sudah.Â
Ghia: 'Gais? Hari ini baju apa ya? @anak OSIS muncul dong... DC nya Ramadhan Fest apa??"Â
Mega : @Diyan @jiya apaan guis?
Diyan : Baju seragam putih yaa. Buat yang mau lomba sesuaikan sama yang ada di juknis.Â
....
Text pesan bertuliskan Diyan membuatku terdiam. Dia sudah baik-baik saja kan? Astaga aku seperti ibu penggosip yang suka kepo.Â
   Pagi itu puasa ramadhan, kami satu sekolah berkumpul di depan panggung sederhana yang didirikan karena acara OSIS. Diyan tiba-tiba naik panggung, dia tersenyum menunduk menyapa audiens. Kemudian dia menyampaikan sambutan sebagai ketua acara. Sangat lancar, berbeda dari sikap diam dan malunya tiba-tiba dia sangat cantik dari atas sana. Senyumnya bertambah manis, kata-katanya seakan rayuan yang membuatku salah tingkah meski itu hanya kata-kata sambutan biasa. Tapi disini aku seakan bangga dan ingin mengatakan bangga padanya... Yah, aku yakin aku sedang jatuh cinta.Â
   Hari itu, confess dibuka untuk umum aku mengirimkan satu pesan anonim pada admin yang disediakan bertuliskan "Ketua acaranya keren, ini acara paling sukses sepanjang covid! Semangat cantik". Bodoh memang, harusnya aku ucap secara langsung, tapi aku masih ragu dan aku rasa memalukan mengucapkannya secara langsung.Â
Satu tahun berlangsung, sudah sejak aku meyakini ketertarikan ku. Kini masa akhir kelas 12 SMA membuat para murid kacau dengan ujian yang berbuntut, dari mulai tryout, ujian keterampilan dan bahkan ada yang sudah memulai pendaftaran kuliah.Â
"Kau suka padanya?" Pertanyaan yang aku yakin pasti jawabannya.Â
"Kalau iya bilang saja!" lanjutnya
"Tapi, aku belum yakin. Ku rasa nanti aku di tolak, dia bukan tipe anak yang mau diajak berpacaran."
"Ya belum tau, barangkali dia mau, tidak ada salahnya. Siapa tau dia ternyata juga suka padamu." Ucap Zafar, membuatku merenung dalam pertimbangan. Mungkin benar begitu saja ya.
"Sudah bro, yuk lanjut latihannya, besok kita tanding." Ucapnya sambil melempar bola yang sempurna ku tangkap.
   Aku menceritakannya ke Zafar, juga beberapa teman dekatku. Beberapa mendorong untuk mengungkapkan beberapa mengatakan untuk menahan karena jawaban pastinya adalah penolakan. Meski belum pernah ada yang terbukti ditolak olehnya. Tapi itu semua karena mungkin tak ada yang berani mendekat, kalau aku berani bisa saja dan mungkin aku diterima. Jujur aku takut menyesal jika tidak mengungkapkan karena ini bisa jadi terakhir bertemu dengannya.Â
"Assalamualaikum, aku pulang!" Ucapku memasuki rumah.
"Waalaikumsalam, eh dah pulang mas, gimana latihannya tadi?"Â
"Humm, gimana ya bunda kepo!" Godaku.
"Ih dasar, sana mandi dulu habis itu kita makan bareng. Bau mu udah kayak got!" Ucap Bunda sambil menutup hidungnya.
"Tapi mas mau peluk Bunda dulu ya!" Sambil tertawa aku merentangkan tangan mendekat.
"Ih nggak mau bau ih!" Ucap bunda kemudian lari.Â
"Bunda mau peluk!" Pekik ku sambil berlari mengejar dan kemudian mengarah ke kamar mandi.Â
Malam itu aku duduk disamping bunda yang sedang menonton tvÂ
"Bunda, aku mau ngobrol."
"Hem." Sahutnya pendek sambil menonton sinetron favoritnya.Â
"Mas kan suka cewek nih, tapi mas takut kalau nembak malah ditolak.."Â
"Ih, tumben engga PD biasanya tiba-tiba bawa pacar buat dikenalin engga ada acara bingung sampek Konsul sama bunda gini."
"Masalahnya dia beda bun!" Rengek ku.
Bunda mengecilkan volume tv karena sedang iklan.Â
"Beda gimana mas?" Bunda terdiam menatapku, "Sebenarnya Bunda nggak setuju sih kamu pacaran. Karena itu bukan hal baik untuk memulai hubungan, takut kamu kebiasaan. Tapi kamu udah terlanjur bawa ceweknya."Â
"Dia itu, anaknya cantik Bunda..." Aku terdiam dan termenung.Â
"Hahahaha... ahahaha!" Tawa Bunda meledak.
"Serius ini! Terus dia pendiam, pemalu, dan yang paling utama agamanya bagus, dia nggak suka deket cowok, pakaiannya sangat sopan dan syar'i, sering sholat Sunnah dan pintar mengaji."Â
"Kamu, kayak lagi ngajuin kriteria calon mantu bunda aja!" Ucap bunda sambil sedikit tertawa.
"Aamiin, ini serius bundaa, ini mas ada fotonya pas foto kelas kemarin!" Ucapku sambil menunjukkan foto dalam handphone.Â
"Cantik, mas. Bunda suka!" Ucap bunda sambil menatapku yakin.
... Kami hanya terdiam setelah balasan ucapan dari bunda.
"Mas, kalau bunda boleh kasih saran. Kamu jangan pacaran sama dia. Perempuan itu ibarat bunga. Dia itu hidup dan berbunga cantik. Kamu kumbang nya!" Ucap bunda sambil menyentil dahi ku, "Kalau mas benar-benar cinta sama bunga itu jangan kamu rusak dengan memetik tangkai bunganya untuk dipajang saja, biarkan dia hidup dan berkembang, mengalami layu dan segarnya. Kalau kamu udah siap serius kamu bisa rawat bunga itu beri dia pupuk dan perawatan yang baik. Tapi jika belum, jangan dirusak mas. Itu namanya cinta bukan sekedar nafsu."Â
"Sebaiknya jangan kamu ganggu pikiran dia dengan menyatakan perasaan. Biarkan dia meraih mimpinya dulu, kamu pun begitu, baru ketika nanti kalian memang jodoh dan dipertemukan lagi. Dan bunda doakan saat itu mas sudah mapan. Langsung dipinang mas, bunda restu." Ucap bunda tersenyum dan kembali melihat sinetron yang sudah dimulai lagi.Â
Aku masih merenungkan kata-kata Bunda. Aku juga tidak ingin merusak kebahagian dia. Jika nanti justru membuatnya makin pusing dengan berpacaran maka sama saja aku tidak membuatnya bahagia.Â
  Setelah konsultasi itu, aku memutuskan untuk tidak mengungkapkan perasaanku. Tapi tidak lama Mega, yang sangat dikenal cantik di sekolah setelah Ari justru mengungkapkan perasaan kepadaku. Dia mengajakku berpacaran dan berakhir ku terima. Namun, kami tak bertahan lama. Hanya dua Minggu aku memilih mengakhirinya dengan alasan ingin fokus pada kuliah. Meskipun alasan sebenarnya karena merasa hubungan ini tidak benar. Aku sama sekali tidak memiliki perasaan padanya. Aku masih menyukai Diyan.Â
  Dunia itu cantik. Begitu pula kamu, entah apakah takdir kita akan cocok nantinya. Pada akhirnya aku tidak mengucapkan apapun di hari terakhir kita bertemu. Kata orang memang ini sikap pecundang yang tak kuat menerima penolakan. Tapi Bunda berkata jangan merusak orang yang kamu sayangi. Karena aku tak ingin menggenggamnya dalam ikatan yang tidak pasti. Aku pun takut jika aku akan membawanya dalam dosa dan merusak imannya. Lebih baik aku yang memantaskan diri memperbaiki imanku yang sangat semburat ini.Â
   Kelak, di lain waktu di masa depan. Aku berharap kita bertemu kembali dalam keadaan pantas di waktu yang pas. Aku akan meminangmu. Dan membuatmu bahagia dengan cara yang diridhai oleh-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H