Aku cuma duduk sambil menggunting kertas yang diminta anak-anak perempuan. Yak, di kelas kami para perempuan sangat menonjol dan kami laki-laki jarang menyumbangsikan ide.Â
"Kita tambahkan bagian ini ya disini gimana? Aku rasa bagian ini kurang mendukung."Â
"Bagus! Aku dari tadi mikir juga, apa yang kurang dari tugas kita, kalau ini gimana Diyan? Katamu, kalau kita pakai ini sesuai engga?" Tanya Ari.
"Boleh-boleh, bagus kok. Tapi tambahin kalimat ini terus sini bentar ku tuliskan aja boleh?" Ucapnya sopan dan tersenyum.
Kali ini aku baru merasa kaget, Diyan yang selama ini kulihat diam kini bersuara. Memang dia bersuara, sepertinya aku yang sering tak memperhatikan.Â
"Eh, sholat dulu yuk, udah jam segini kita lanjut nanti gimana?"Â
"Masyaallah!" Sahut yang lain serempak mengucap kalimat thayyibah yang sangat asing di mulut masing-masing.Â
"Memang Diyan paling positif auranya!" Ucap Mega.Â
"Kita belum tentu tau watak orang, keliatannya baik mana tau dalemnya. Jangan melihat dari cover aja!" Celetukku secara spontan membuat semuanya menatapku bahkan aku pun kaget bisa mengucap hal itu. Kali ini aku baru melihat wajahnya yang kesal, bukan marah tapi lebih ke ingin menangis tipis dengan tersenyum kecut.Â
"Ih kamu yang terlalu transparan. Udah luarnya jelek dalemnya juga jelek!" Ucap Mega.
"Udah yuk, sholat dulu. Yuk Diyan!" Ajak Ari.Â