Mohon tunggu...
Dwi Eka Adhariani
Dwi Eka Adhariani Mohon Tunggu... Penulis - Universitas PTIQ

Pendidikan Anak Usia Dini

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Karakteristik Keagamaan Anak Usia Dini: Antropomorfis

30 November 2024   11:29 Diperbarui: 30 November 2024   11:29 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada usia 3 dan 4 tahun anak-anak mungkin sering menanyakan pertanyaan yang ada hubungannya dengan agama, misalnya: Siapa Allah, dimana Allah, di mana surga, bagaimana cara sampai ke surga? Cara anak-anak memandang alam dan Allah masih terikat dengan cara mereka memandang dirinya. Anak-anak belum mampu berpikir dan memahami hal-hal yang bersifat metafisik. Kepercayaan anak-anak sangat tergantung kepada apa yang didengarnya dari orang tua, guru, dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Boleh jadi kepercayaan anak terhadap Allah masih bersifat kontradiktif. Misalnya anak-anak percaya bahwa Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang tetapi pada waktu yang bersamaan dia juga percaya bahwa Tuhan Maha Kejam karena akan membakar orang-orang yang berbuat dosa.

Konsep anak-anak mengenai agama bersifat riil dalam arti anak-anak menafsirkan apa yang dilihatnya dengan apa yang diketahuinya. Sepanjang masa anak-anak usia dini, minat beragama bersifat egosentris. Doa misalnya pada anak-anak adalah upaya mencapai kehendak. Allah Maha Pemberi dan tak pernah meminta balasan. Pada masa ini anak-anak menerima keyakinan dengan unsur yang tidak nyata. Pengajaran agama dengan menggunakan cerita sangat cocok untuk anak-anak dini. Cerita yang disampaikan hendaknya berkisah tentang sifat Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sebab pada masa ini anak-anak kadang-kadang merasa takut kepada Allah. Menurut Waterink anak usia 6 tahun belum punya rasa berdosa terhadap apa yang dilakukannya, hanya lingkungan yang mengatakan kepadanya bahwa Tuhan tidak suka kepada kesalahan yang dilakukan anak, sehingga anak menjadi takut kepada Tuhan. 

Pada usia 7 tahun perasaan anak terhadap Tuhan telah berkembang dari perasaan takut menjadi perasaan cinta dan hormat. Hubungan anak-anak dengan Tuhan telah mulai didasari oleh rasa percaya dan rasa aman. Pada saat yang bersamaan anak-anak mulai kritis terhadap kepercayaan terhadap Tuhan. Anak-anak mengharapkan Tuhan adalah Zat yang baik, karena menurutnya hanya sesuatu yang baiklah yang pantas dicintai dan didekati.

Pada masa ini anak-anak telah memasuki masa berpikir konkret. Anak-anak juga mulai memahami konsep kelahiran dan kematian. Dua peristiwa yang selalu dikaitkan dengan kehendak Tuhan bukan keinginan manusia semata. Pada saat ini anak-anak mulai menuntut kebaikan Tuhan jika orang-orang yang dicintainya harus mati meninggalkannya. Dalam berdoa anak-anak juga mulai lebih menuntut Tuhan untuk mengabulkan doa-doanya. Jika Tuhan tidak mengabulkan doanya, maka dia mulai meragukan kebaikan Tuhan.

Keraguan lebih sering terjadi pada anak-anak yang cerdas. Spranger membedakan keraguan anak-anak terhadap Tuhan ke dalam tiga kategori: pertama, keraguan teoritis, keraguan yang disebabkan perkembangan pikiran. Misalnya anak-anak mengetahui bahwa Tuhan Maha Penyayang dan menyayangi orang-orang yang baik. Ketika anak melihat bahwa ada orang yang baik justru mengalami nasib malang, maka anak-anak meragukan sifat Maha Penyayang Tuhan. Kedua, keragu-raguan yang disebabkan kekecewaan, misalnya anak telah berdoa agar Tuhan menyembuhkan adiknya yang sakit, tetapi adiknya tersebut malah meninggal dunia bukan sehat. Anak dalam kondisi ini dapat ragu terhadap kekuasaan Tuhan. Ketiga, keraguan yang disebabkan pertentangan batin terhadap etika (kesusilaan), misalnya anak melihat orang yang mengajarkan kepadanya bahwa Tuhan menyuruh manusia berkata jujur, sementara orang tersebut malah berkata bohong. 

Keraguan terhadap agama kadang-kadang dapat menyebabkan anak-anak malas mengikuti ibadah-ibadah keagamaan, seperti mengaji, sholat, dan sejenisnya. Untuk mengatasi hal ini Islam memerintahkan orang tua untuk mengajarkan shalat sebagai ibadah inti dalam ajaran Islam kepada anak pada usia 7 tahun. Jika anak-anak telah pandai shalat pada usia 10 tahun tetapi tidak mau melaksanakannya, maka orang tua harus memukul anaknya. Ini adalah bentuk pendidikan agama yang harus dilakukan orang tua lewat pembiasaan dan percontohan.

Bagi anak-anak normal usia 10 tahun ke atas, setan tidak lagi dipahami sebagai sesuatu kekuatan jahat yang ada di luar dirinya, akan tetapi merupakan pantulan dari sumber kejahatan yang ada dalam dirinya. Ini mengisyaratkan bahwa anak-anak sudah mulai dapat mengontrol tingkah lakunya. Karena itu anak telah boleh dihukum bila bersalah, seperti tidak shalat atau tidak mengaji. 

Sejak usia 7 sampai 11 tahun anak mulai mempunyai diferensiasi khas dalam kehidupan keagamaanya. Maksudnya anak tidak lagi hanya menerima cara beragama orang tuanya, tetapi anak mulai memilih cara yang terbaik menurutnya untuk menjalankan perintah Tuhan. Pada saat ini dapat dilihat anak-anak kadang-kadang menolak ajakan orang tuanya untuk shalat atau sebaliknya anak belajar shalat kepada orang lain karena orang tuanya di rumah tidak shalat. 

Baik buruknya perkembangan jiwa beragama pada anak-anak sangat dipengaruhi oleh pendidikan agama oleh orang tuanya atau pendidik lainnya. Bandura mengatakan bahwa melalui identifikasi seorang anak mulai menerima sifat-sifat pribadi dan tingkah laku tertentu sebagai sesuatu yang berguna agar bisa sesuai dan diterima orang lain. Hal ini disebabkan karena anak memang suka meniru, apalagi meniru orang tuanya atau pengasuhnya yang selalu dilihat atau didengarnya setiap hari. Pentingnya proses peniruan ini mengajak kita semua untuk bisa dijadikan teladan yang baik bagi anak. Seorang anak yang selalu melihat orang tuanya shalat, mengaji, berbuat baik, akan mempunyai kesan yang positif terhadap pengamalan ajaran agama. Sehingga mereka tertarik juga mengerjakan ibadah-ibadah tersebut. 

Islam sangat menganjurkan agar orang tua menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Rasulullah SAW selalu mengajarkan orang tua untuk menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Misalnya Rasulullah SAW pernah menegur seorang ibu yang berjanji akan memberi anaknya kurma, tetapi tidak berniat memenuhi janjinya, maka Rasulullah SAW menegur ibu tersebut. Beliau mengatakan jika tidak memberinya kurma maka ibu tersebut telah berdusta. Hal tersebut dapat menjadi pendidikan pada anak bahwa berdusta dilarang.

Menurut Cassimir, di samping percontohan pengamalan ajaran agama, buku-buku agama, majalah-majalah agama, hiasan bernuansa agama, dan benda-benda yang berkaitan dengan agama merupakan alat pendidikan utama dalam pendidikan agama yang bersifat tidak disengaja atau disengaja. 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun