b. Anthropomorphic Concreteness Â
Pada tahap ini, kata-kata dan gambaran keagamaan diterjemahkan dalam pengalaman-pengalaman yang sudah dijalani dalam bentuk orang-orang yang sudah dikenalinya. Semua ajaran agama dibayangkan sebagai manusia atau pengalaman yang telah dialaminya. Misalnya Tuhan dibayangkan anak-anak sebagai manusia yang berbadan besar yang kekuatannya melebihi manusia lainnya.
c. Experimentation, initiative, spontaneityÂ
Bersamaan dengan dunia anak yang cepat meluas melampaui lingkaran keluarga, unsur-unsur baru yang berkenaan dengan masalah perpisahan mulai muncul. Umur 4-5, dan 6 tahun merupakan tahun kritis di mana anak mulai berani pergi keluar, mengambil inisiatif dan menampakkan diri di medan permainan bersama teman sepermainan dan orang dewasa lainnya di luar orang tua, juga menyatakan atau menganggap sebagai milik. Anak-anak pada usia ini suka pergi ke mesjid mengikuti orang dewasa atau selalu mengikuti kegiatan keagamaan yang dilakukan orang tuanya di luar rumah.
Agama pada masa anak dengan demikian cenderung mengambil ciri eksperimen dan spontanitas lahir dalam bentuk-bentuk teologis yang tak teramalkan dan individualistis. Emest Hans, seperti disitir oleh Robert W Crapps, mengatakan bahwa masa anak-anak merupakan tahap atau periode dongeng, di mana fantasi dan emosi merupakan masukan pokok dalam kreatifitas. Pada masa itu apabila dikatakan kepada anak bahwa Tuhan ada di atas sana, di surga, maka anak yang mendengar itu suka memandang ke langit. Bila ditanya mengapa ia melakukan itu maka anak menjawab bahwa ia melihat Tuhan dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya. Ungkapan anak tentang Tuhan itu bernada individualistis, emosional, dan spontan, tapi penuh dengan arti teologis.
d. Anthropomorphis
Anthropomorphisme artinya pengenaan ciri-ciri manusia pada binatang, tumbuh-tumbuhan, atau benda mati. Kecenderungan mengatribusikan karakter, sifat dan ciri-ciri manusia kepada yang bukan manusia disebut antropomorfisme. Seolah-olah yang bukan manusia itu memiliki perilaku, sifat-sifat dan tindakan seperti manusia. Tidak heran bila antropomorfisme juga sering disebut sebagai humanisasi.Â
Antropomorfisme sudah sangat lama dipraktikkan. Di Jerman pernah ditemukan sebuah patung berbentuk manusia dengan kepala singa, yang ditaksir sudah berusia 32.000 tahun. Ini adalah salah satu bukti manusia mengimajinasikan karakter manusia kepada hewan. Di Yunani, mitologi kuno mereka sudah sangat lazim berkisah tentang dewa-dewa yang berwajah dan berperilaku seperti manusia. Dewa-dewa digambarkan gagah dan cantik. Mereka jatuh cinta dan berkelahi. Mereka bahkan lapar dan memiliki makanan favorit.
Menurut salah satu teori, antropomorfisme di zaman prasejarah merupakan cermin perubahan dan perluasan sistem berpikir manusia. Dari hanya secara intuitif menghadapi tantangan hidup, kepada menggunakan kecerdasan dalam menafsirkan alam. Menurut teori itu, munculnya antropomorfisme berasal dari cara hidup manusia yang mempertahankan hidup dengan berburu. Untuk dapat bertahan dan menang dalam perburuan, manusia mempelajari perilaku hewan. Salah satu caranya adalah membayangkan bahwa hewan-hewan itu juga berperilaku seperti manusia. Dengan cara itu mereka merumuskan sekaligus memprediksi pergerakan hewan-hewan buruan.
Sebagai istilah, antropomorfisme berasal dari bahasa Yunani. Antropo yang berarti manusia dan morphe yang berarti bentuk. Awalnya istilah ini dipakai untuk menggambarkan fenomena umat yang membayangkan dewa pujaan mereka seperti diri mereka sendiri. Itu sebabnya dewa bangsa Yunani berkulit putih dan bermata biru sementara dewa orang Afrika berkulit gelap dan bermata coklat.
Peradaban manusia diisi dengan eksplorasi antropomorfisme yang meluas hingga ke berbagai bidang. Di bidang pemasaran, misalnya, antropomorfisme banyak dipakai dalam menghasilkan iklan dan inovasi produk. Bentuk produk yang menyerupai hewan, tokoh iklan yang meniru dewa-dewa atau superhero, buah-buahan yang dapat bercanda, dan sebagainya.