Pukul 18.00 WIB aku tiba di shelter satu, kulihat rombongan sudah berkumpul semua. Hampir satu jam mereka tiba di situ. Ada yang masih makan, ada yang merokok dan beristirahat, beberapa diantaranya membersihkan diri dengan air pancuran shelter satu. Meski badan tidak bersih benaran, kami tetap melaksanakan shalat maghrib yang dijamak dengan isyak.Â
Kami yakin, apapun kondisinya shalat mutlak dilaksanakan. Setelah itu kami melakukan penghitungan peserta, masih lengkap sembilan belas orang. Lalu melanjutkan perjalanan menuju shelter dua.
Senter sudah terpasang di kepala masing-masing. Sebetulnya sangat berbahaya meneruskan pendakian. Gunung bukanlah tempat yang baik untuk bertualang di malam hari. Selain gelap, jalannya curam dan terjal, juga hujan yang tak kunjung berhenti. Gemuruh di dadaku bersaing dengan gemuruh alam sekitar. Namun dengan merapatkan barisan dan saling menyemangati satu sama lain, membuat pendakian menuju shelter dua terasa ringan.
Meskipun tak bisa dipungkiri, route dari dari shelter satu menuju shelter dua jauh lebih berat. Tebing yang terjal, jalan yang tegak lurus dan licin lama-lama membuat phisik dan jiwa kami terbiasa. Ini betul-betul memanjat gunung, bukan lagi mendaki gunung. Gunung Dempo benar-benar hanya dipenuhi hutan belantara, tak ada pondok-pondokan apalagi rumah penduduk.Â
Darman sering mengatakan bahwa di shelter dua ada indomart, kami semua mengerti bahwa itu hanyalah candaan untuk memberikan semangat, sehingga guyonan kami saling bersahutan dan menyingkirkan medan yang berat.
 Sekitar pukul 22.00 WIB kami tiba di shelter dua, ada area datar yang cukup lapang dan lantang di sela-sela pepohonan besar. Melihat kondisi anggota yang sudah kecapekan, kami memutuskan untuk bermalam di shelter dua.Â
Proses pemasangan tenda berjalan cepat, mereka telah terbiasa merangkainya. Ada delapan tenda yang terpasang, dua milik kami, enam milik rombongan yang baru bergabung.Â
Setelah mengganti pakaian bersih, pakaian kotor dihamparkan di sebatang pohon yang tumbang. Aku masuk tenda, tak kuat menahan udara dingin dan hujan yang terus mengguyur. Bergegas aku masuk ke sleeping bag, di samping kiriku ada Aisyah, ia memilih di pinggir, sementara di sebelah kananku ada Darman dan Arga.
Dody memasak mie dan memasak air untuk membuat kopi di tenda satunya. Tapi aku sudah tidak tahu lagi apa yang mereka lakukan setelah itu, tubuh tuaku begitu pulas tertidur, dalam sekejab mengungsi di alam mimpi.