Pagi-pagi aku bangun untuk melaksanakan shalat subuh, hujan masih belum berhenti, air hujan yang menetes kupakai untuk berwudhu, pikirku Allah maha tahu kondisi ini, lalu shalat subuh kulakukan sambil duduk di dalam tenda. Kemudian aku membangunkan Aisyah dan teman-teman. Usai menjalankan shalatnya, kami bersiap untuk melanjutkan pendakian.
Minggu pagi menyapa di pukul 07.00 WIB, trip selanjutnya dimulai. Shelter dua menuju Puncak Dempo. Kami berangkat bersembilan, hanya rombongan dari BRI. Tujuan Tik-Tok saja, karena tak mungkin untuk bermalam di puncak.Â
Selain kabut badai semakin kencang, jarak pandang tak lebih dari satu meter dan udara teramat dingin serta hari Senin sudah harus masuk kantor, menjadi alasan gerak cepat, agar malamnya  bisa pulang ke Palembang.
Di sisi lain, rombongan yang bergabung diawal pendakian belum  melanjutkan perjalanan ke puncak, selain karena di puncak udara terlalu dingin, mereka juga merencanakan pendakian selama satu minggu.Â
Sehingga mereka memutuskan menunggu dulu di shelter dua, oleh sebab itulah kami meninggalkan semua barang bawaan agar tidak membebani langkah ke puncak.
Namun jalur ketiga ini terbilang ekstrim dan berbahaya karena didominasi batu cadas dan air mengalir. Menurut cerita, di sinilah dunia ghaib itu berada. Pendaki sering melihat penampakan aneka rupa, keangkeran bertambah manakala menemukan satu makam tua yang diyakini siluman harimau. Bahkan kami menjumpai tanah longsor jauh ke dasar jurang, sementara jalur yang dilewati tepat berada di tebing longsoran tersebut.
Beruntungnya kami menuju puncak gunung di pagi hari, sehingga  tak peduli dengan semua itu, bulat sudah tekad untuk menancapkan bendera HUT 125 tahun BRI. Bukan pujian yang ingin diraih, bukan pula popularitas yang dikejar, tapi komitmen yang sudah terucaplah yang menjadi alasan, imbasnya kebahagiaan tak terlukiskan manakala berhasil menaklukkan Gunung Dempo dalam deraan hujan badai menjadi kenangan yang tak terlupakan seumur hidup.
Semangat yang luar biasa dengan bathin yang selalu melafazdkan asmal husnah yang selalu dijumpai di setiap jarak hingga di ketinggian 3.159 MDPL sampailah kami ke puncak tertinggi di sumatera selatan ini.Â
Gembira dan haru bercampur aduk, Aisyah yang sudah sampai terlebih dahulu menyambut kedatanganku, aku langsung memeluknya seperti baru menemukan anak yang hilang.Â
Terus terang, sepanjang pendakian pikiranku selalu tertuju pada Aisyah yang melaju meninggalkanku jauh di belakang. Ingin mengetahui keadaannya dan memastikan tidak terjadi apa-apa padanya adalah motivasi terkuat juga mendorong sampai ke puncak.
Suasana di puncak Gunung Dempo hampir tak bisa dinikmati, selain udara dingin dan awan yang berarak. Penyebabnya tak lain dari jarak pandang yang tak lebih dari satu meter dan hujan badai yang masih berlanjut.Â