Pukul 15.00 WIB kami baru tiba di pintu rimba. Terdapat tanah lapang berukuran sekitar  6 x 4 meter, kami berhenti sejenak sambil minum dan menikmati makanan ringan. Rombongan mengobrol satu sama lain hingga makin akrab dan melenturkan urat penat.Â
Sejurus kemudian sebelum melanjutkan pendakian menujul shelter satu, kami melakukan ritual doa, memohon kepada Allah SWT agar perjalanan  dilancarkan, lalu Iqbal, salah seorang dari tujuh pendaki muda mengumandangkan adzan sebagai pertanda kepada penghuni gunung bahwa kami datang dengan niat baik-baik.
Jalur mendaki dari pintu rimba menuju shelter satu mulai berat. Aku semakin lemah dan nafas tersengal. Sementara Aisyah jauh meninggalkanku, ia mengikuti rombongan yang baru bergabung tadi.Â
Tampaknya ia bersemangat sekali apalagi para pendaki rombongan tersebut begitu bersahaja dengan Aisyah, selalu mengutamakan keselamatan Aisyah, dan bercanda ria layaknya anak-anak milenial sekarang ini.Â
Sempat berpikir untuk menghentikan pendakian dan kembali ke Kampung 4 Dempo, beberapa kali aku terpeleset dan jatuh, benar kata para pendaki  bahwa : "Ke Puncak Dempo judulnya bukanlah mendaki, melainkan memanjat gunung".Â
Tersebab sepanjang perjalanan saat kaki memijak harus diikuti dengan tangan yang berpegang erat pada akar atau pohon kayu". Â Namun Aisyah semakin tidak terkejar olehku, sementara sinyal hape sudah tidak terjangkau lagi. Aku harus mengejarnya. Aku akan memastikan bahwa Aisyah baik-baik saja. Akhirya kubulatkan tekad mendaki sampai puncak.
Di lain sisi, aku sangat menikmati pendakian ini, udara yang sejuk, pohon-pohon tua dan tinggi, banyaknya anggrek liar dengan beraneka ragam spicies sangat memesona. Belum lagi bunga-bunga hutan lainnya serta bermacam rupa jenis keladi sangat menghibur dan menaikkan adrenalinku.
Sempat terbersit ingin membawa pulang bunga-bunga tersebut, namun menurut wejangan yang kami dengar, jangan membawa apapun dari gunung, kecuali photo. Konon katanya banyak yang sakit atau bahkan meninggal dunia karena membawa tanaman dari Gunung Dempo, apalagi jika mengambil kayu yang dinamakan dengan "Kayu Panjang Umur".
Tak kurasakan lagi kalau sepanjang pendakian kami masih ditemani oleh hujan dan badai. Tak kuhiraukan lagi pakaianku yang sudah bergumpal dengan lumpur. Tak kupedulikan sepatuku yang sudah tak berbentuk.Â
Tak ada lagi kekhawatirkan akan terpeleset dan terjatuh. Itu semua karena tubuhku sudah menyatu dan menjadi bagian dari alam pegunungan ini, Â tubuhku sudah sama warnanya dengan tanah.