Pak Dailami meyakini bahwa Aku dan Aisyah hanya mengantar sampai kaki gunung akhirnya pamit turun ke kota Pagaralam, ia mau mengawasi tukang yang sedang merenovasi gedung kantor sambil  berpesan dan mengingatkan agar tak usah melanjutkan pendakian.
Sesaat kemudian azdan zuhur berkumandang, kami menuju mushalah yang terletak di perkebunan teh, di sebelahnya terdapat rumah makan, teman-temanku menuju rumah makan terlebih dahulu, sedangkan aku dan Aisyah ke mushalah.Â
Ketika sedang berwudhu, muncul tiga orang remaja, dua cewek dan satu cowok, cewek yang pertama mengenakan cadar, sedangkan yang kedua berjilbab, mereka ikut shalat berjama'ah bersamaku yang dijamak  dengan shalat Ashar.
Seuai shalat, aku menyapa mereka, penasaran melihatnya seperti orang yang ingin mendaki gunung, lengkap dengan ransel carrier dan trekking pole. Cewek yang pakai cadar namanya Nissa, sedangkan yang berjilbab namanya Rika, mereka dari Palembang juga, sedangkan cowok bernama Angga, teman mereka yang tinggal di Pagaralam. Angga mengantar sampai ke Kampung 4 Dempo saja, hanya  Nissa dan Rika yang akan mendaki.
"isyah mau mendaki gunung juga?"
Aku lupa, kalau Aisyah tak bisa ditantang, langsung saja ia menyambar pertanyaanku dengan gembira dan teriakkan : "Yesss", lalu tersenyum lebar sambil memelukku dari belakang. Aku kembali melihat Nissa dan Rika untuk mengajak mereka bergabung, Â gayung pun bersambut.
Habis makan kami berkumpul di titik pendakian. Selain Nissa dan Rika ternyata ada lagi pendaki yang bergabung, namanya Adit. Ia baru tiba di Kampung 4 Dempo bersama 7 orang temannya, ia penduduk Pagaralam, legalah perasaanku.Â
Karena ada penduduk asli. Akhirnya rombongan berjumlah 19 orang. Kemudian kami membuat lingkaran, dan menyatukan tekad serta semangat untuk sampai di puncak. Tak lupa aku memimpin doa, semua khusyuk mengaminkan. Tepat pukul 13.30 WIB mulailah pendakian itu.
Rute pertama yang dilalui adalah perkebunan teh menuju "pintu rimba", sepanjang jalan kami bersenandung, sesekali bercanda sambil berphoto di dalam kebun. Pohon teh tidak tinggi, hanya sebatas pinggangku, namun batangnya besar-besar, akarnya menyembul di permukaan tanah, kemungkinan pohon teh ini sudah tua. "Bagus dibuat bonsai", pikirku.
Perkebunan teh terlewati, sekarang memasuki hutan belukar. Kiri kanan adalah pepohonan liar, jalan mulai menyempit serta licin, karena terbentuk mengikuti aliran air hujan, di situlah kaki harus dipijakkan, supaya tidak terpeleset. Sebetulnya jaraknya tidak terlalu jauh, namun karena  mendaki ditambah lagi usia sepuhku, membuat pendakian jadi lambat.