Kami menancapkan benderah HUT 125 Tahun BRI, lalu menyempatkan diri untuk berphoto, membuat sedikit video, berdoa, mengucapkan terima kasih kehadirat Ilahi yang telah menyehatkan kami dan menyelamatkan perjalanan kami ke Puncak Dempo. Rasa haru membuat isak tangis tak tertahan lagi.
Usai berdoa, kami langsung turun menuju shelter dua, tak ingin lagi melanjutkan perjalanan menuju kawah gunung apalagi berada di pelataran gunung, hujan badai adalah penyebabnya. Turun gunung tidaklah se-ekstrim saat mendaki.
Entah apa yang terjadi, perjalanan menurun menjadi lebih ringan, singkat cerita setiba di shelter dua kami masih menjumpai rombongan anak-anak muda tersebut termasuk Nissa dan Rika. Mereka menunggu badai reda untuk bermalam di puncak, sementara kami meneruskan perjalanan turun gunung hingga ke Kampung 4 Dempo.
Ada cerita menarik selama perjalanan turun, kami bersembilan sering berjarak cukup jauh. Aisyah masih terus memimpin di depan dengan Fanie, Arga dan Dody. Sementara aku dikawal oleh Agung, Darman, Fahen dan Supri di bagian belakang.
Namun sering aku berjalan sendirian, karena Fahen yang berada di depanku selalu jauh meninggalkan, sementara yang di belakangku kerap tak muncul. Saat-saat seperti itulah hadir burung jalak hitam yang terbang di depanku seolah menunjukkan jalan, aku mengikutinya sampai bertemu lagi dengan Fahen yang menunggu. Begitu seterusnya.
Menjelang Maghrib kami tiba di Pintu Rimba, namun Darman dan Supri  belum terlihat. Dipanggil tak ada jawaban. Mengingat hari mulai gelap, maka Fanie meminta kami langsung menuju Kampung 4, sementara dia bersama Fahen menunggu Darman dan Supri.
Tersebab persediaan minum sudah habis, tanpa berpikir panjang Agung memetik buah blue berry yang banyak terdapat di sekitar situ, belum sempat aku mengingatkan ia sudah memakannya. Manis, katanya. Kami semua terdiam, berharap apa yang sering diceritakan tidak akan terjadi.
Setelah memastikan keberadaan Darman dan Supri yang menyahut saat dipanggil, kami berempat segera berjalan meninggalkan pintu rimba menuju kebun teh. Sementara Fanie dan Fahen menunggu mereka.
Di tengah rerimbunan pepohonan yang menutupi kiri kanan dan atas jalan, tiba-tiba aku mendengar Aisyah yang berjalan di depanku berteriak : "Ayah, ada anak kucing" lalu ia membungkuk  seperti menyapih anak kucing tersebut. Aku langsung mengingatkannya, "Ais, zikir.... Zikir, jangan kau pedulikan anak kucing itu", dan aku memegang tangan Aisyah untuk meneruskan perjalanan.
Akhirnya sampai juga ke perkebunan teh, kami memilih istirahat sejenak, dan menjilati air yang menempel di daun teh, lumayan untuk menghilangkan haus. Tapi beda dengan Agung, dia terus mengeluhkan kerongkongan dan nafasnya yang tersengal-sengal.Â