Mohon tunggu...
Marendra Agung J.W
Marendra Agung J.W Mohon Tunggu... Guru - Urban Educator

Write to learn | Lahir di Bekasi, mengajar di Jakarta | Menulis edukasi, humaniora, esai dan fiksi | Kontak: jw.marendra@gmail.com |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Canggung

25 Februari 2017   11:24 Diperbarui: 27 Februari 2017   02:00 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“ ….lulusan fakultas Ilmu Keolahragaan…”  

Seorang pria sedang mempresentasikan dirinya. Tak kuasa aku untuk mendengarnya lebih. Sengaja, aku mengasyikan diri memandangi awan-gemawan, lewat kaca besar di belakang kursiku. Matahari tak nampak batang hidungnya, sepertinya air akan berjatuhan dari awan-awan itu. 

Sementara itu, di balik punggungku, pelamar terakhir hari ini telah usai bicara. Lantas, kini giliranku. 

“ Baiklah. Dari mana  Anda mendapat info kerja ini?”

Sejak sepekan, di sana sini dilanda hujan, udara lebih dingin dari biasanya. Anehnya, semenjak pelamar ini masuk ruang kerjaku,  dingin terasa kabur. Ia masuk membawa hawa lain yang sulit aku deskripsikan rasanya. Yang jelas hawa itu cukup berpengaruh kepada anatomi tubuh dan nuansa jiwaku. 

Pertanyaanku tak bersambut, aku rasa pelamar ini belum siap. Maka kembali aku bertanya.

“ Anda mendapat informasi lowongan ini dari mana?”  

Di luar hujan mengguyur begitu lebat. Mungkin volume suaraku terganggu oleh tumpahan air pada atap gedung, sehingga pelamar terakhir ini belum juga merespon pertanyaanku. Ia malah sibuk dengan androidnya. Maka kuputuskan untuk mengulangnya kembali, dengan agak keras.

“ Ehm, bisa dijelaskan dari mana Anda mendapat info kerja ini?”

Sejak musimnya hujan, biasanya AC di ruang kerjaku ini kumatikan. Atau paling tidak kurendahkan derajatnya. Seperti sejak pagi tadi, AC tak kunyalakan.

“ Kalau boleh tahu, memangnya sudah lama kerja di sini?”  

Aku lihat keringat mulai membasahi kening pelamar ini. Spontan, kunyalakan kembali AC, bisa jadi ia kepanasan, sehingga tidak fokus dengan pertanyaanku, atau mungkin dia memang pelamar yang lancang.

“Loh, bisakah Anda menjawab pertanyaan saya? Anda belum mendapat  kesempatan untuk bertanya, bukan?”  

Di sebuah kantor yang cukup berkembang ini, aku memang diperlukan untuk bersikap luwes dan friendly sebagai HRD, namun untuk kali ini tidak ada salahnya aku menjadi HRD yang tegas. Walau sebetulnya aku pegal untuk berlaku formal, dengan kekauan-kekauan ini. Namun aku baru sadar, ternyata profesionalitas terkadang memang perlu pada situasi tertentu.  

“ Maaf…” 

Wajahnya menunjukan kegelisahan,  bila dipandang lebih kritis, pelamar ini seperti orang yang kepedasan, terlampau banyak makan sambal. Keringatnya makin nyata terlihat, keningnya yang lapang dan halus itu jadi mengkilap. 

“ Sudah 3 kali saya  bertanya, dan Anda melewatkannya dengan sia-sia. Saya akan ulangi pertanyaan, mohon jawab dengan serius”

Setelah mengagguk, tangannya terus menciptakan gerak-gerik yang aneh, jemari-jemarinya berayun-ayun mematuk meja, lantas terdengarlah bunyi beruntut krek-krek-krek.

“ Iya, maaf..”

Sebagai seorang perempuan, aku selalu risih berhadapan dengan pria yang tidak berani melakukan kontak mata denganku. Apalagi dalam pekerjaan ini. Aku heran, apa aku menyeramkan?

“ Oke, oke. Baiklah. Kita terlalu membuang waktu. Jadi, tolong Anda jelaskan, dari mana Anda dapat info kerja ini? dan mengapa kemudian Anda tertarik dengan posisi ini? Bukankah Anda kuliah di jurusan yang sangat berbeda seperti yang sudah Anda ceritakan pada perkenalan tadi.”           

"Saya dapat dari website perusahaan…”

“ Anda yakin? sebab website karir kami, baru akan diperbaharui seminggu ke depan.”  

“ Boleh saya ke toilet sebentar?”  

Ya ampun. Pelamar ini memang tidak berubah. Selain pembohong, tidak tegas, dan ia juga mudah sekali memotong momen, memutus quality pembicaraan. Namun itu haknya. Dari pada ia terkencing-kencing di ruangan ini, pikirku.            

“ Baiklah, tolong agak cepat.”

Pelamar ini beranjak,  menutup pintu dengan hati-hati. Sementara itu, ada sisa-sisa wewangian tersapu AC dari tubuhnya. Harumnya juga tidak berubah. Aromanya terlalu alami. Ketika otaku mulai mengidentifikasi ini parfum apa, terkesiap aku langsung menggelar lebar-lebar koran pagi yang terpapar di hadapanku. Aku kerahkan staf-staf otakku untuk memusatkan perhatianku pada berita-berita hari ini.

*** 

Tanpa ada bunyi ketukkan, pintu kantorku terbuka. Pelamar terakhir kembali. Aku tata lagi hati dan pikiranku sedemikian rupa. Aku harus tetap tenang, dan profesional. Kulipat rapi koran pagi itu. Kemudian,

“ Baik. Silahkan lanjutkan penjelasan Anda. Mohon jawablah apa adanya.” 

“ Menjelaskan yang mana?”

Sungguh, wawancara terpanas yang pernah aku alami sepanjang karirku. Mendapatkan pelamar aneh, pembohong, dan sebagainya, dan sebagainya.

“ Astaga, dari mana Anda dapat info? Apa ada kerabat Anda yang merupakan salah satu karyawan di perusahaan ini? Sebab info kerja  baru kami sebar secara internal”

“ Aku tahu ini dari… Oh  maaf, saya dapati lowongan ini dari teman saya, dia…”

“ Ya, ya, cukup. Anda tidak perlu meneruskan. Boleh saya terima CV Anda.”  

Tak pernah kuduga, ini ulah Riri. Rekan kerjaku, teman lamaku ini bisa-bisanya dia mengerjaiku. Tidak biasanya aku menjadi interviewer di akhir pekan. Oh sialan. Ya ampun. Aku baru sadar.

“ Ee, apa ada pertanyaan lagi?”  

Terdengar ia bertutur. Namun, sengaja waktu aku ulur, aku abaikan ucapannya, kutelusuri isi CVnya. Seperti yang telah kupahami, pelamar ini memang memiliki skill dalam bidang ini sejak lama. Ia konsisten juga ternyata, pikirku.

Beberapa jenak kemudian, hujan mereda, tiktak jam dinding terdengar jelas. Pelamar  ini lagi-lagi tidak berubah. Pengecut dan tak tegas. Ia tak berani menagih jawaban. kesengajaanku membiarkan pertanyaannya, tak menimbulkan respon, ia malah berpura-pura asik dengan handphone.

“ hmm, saya paham ini sesuai dengan skill Anda. Untuk itu CV akan saya proses kepada user. Mungkin kalau cocok, akan kami hubungi Anda sesegera mungkin.”

Ia tak sedikit pun mengangguk, kepalanya masih menunduk. Perhatiannya seperti tenggalam dalam layar Androidnya. Sementara itu, kupandangi keringat di keningnya  yang mulai mengalir, melintasi alis tebalnya.

“ Baiklah, waktu kita sudah akan selesai. Sebentar lagi jam istirahat makan siang...”  

Aku berdiri, menatap jam dinding, sengaja dengan mengusap perutku lembut-lembut. Namun, memang dasar, pelamar ini belum juga berubah. Walau memiliki keahlian translate yang baik dan berpengalaman,  tetapi tetap saja ia belum juga mampu menerjemahkan yang bukan teks.

“ ...sekarang, ada  yang ingin Anda tanyakan?“

Menjelang zuhur, hujan turun lagi tipis-tipis, gerimis. Anehnya pelamar terakhir ini masih saja terlihat gerah. Ia tersadar kalau keringatnya kian menggangu. Sambil menata nafas, selampe ia raih dari tas, kemudian mengusap keningnya gopoh-gapah, lalu menengelamkannya pada saku.  Sedangkan aku belum juga memalingkan padanganku padanya. Dan ia tetap belum bisa mengendalikan matanya, tatapannya tak tentu arah. Sesekali pandangannya menabrak keningku, sampai kemudian, ia berupaya menyambut mataku.

“Bagaimana kabarmu?”

Suaranya begitu pelan, tidak lembut, namun serak. Lemah iramanya, semacam ada sesuatu yang menahan tenggorokannya. Kulihat ibu jarinya bergetar. Keningnya mulai basah kembali. Sejenak kepalanya menunduk kembali. Tersisalah raut wajah yang melas. 

“Anda menanyakan kabar saya?” 

“ Ya...”  

Aku tak boleh terpancing oleh momen aneh ini. Aku adalah sang profesional HRD. Kulihat ia mulai menegakkan punggungnya yang bungkuk. Kulepaskan sorot runcing mata sipitku. Ia terus mengelak. Ia sempat melepaskan matanya ke hidungku yang mangir, yang dulu kerap menjadi objek pujiannya. Namun kemudian ia kembali menunduk. Matanya berlabuh pada ilustrasi barisan kuda di atas meja kerjaku.

“ hahahaha” 

Tiba-tiba aku tertawa. Kelucuan apa yang membajak pikiranku? Padahal apabila kutengok wajah pelamar ini, tiada kelucuan yang kutemukan,kecuali kenangan tentang kemunafikan. Tapi entahlah, tawaku meledak-ledak sampai aku terbatuk - batuk. 

“ ...Anda ini aneh, hahaha.”

Ia belum juga sanggup menatapku. Kudapati ia merunduk, berpejam. Aku tetap berupaya keras menyembunyikan perasaanku dari kalimat-kalimat bibirku, “ kabar baik. Ayo kita makan siang.. Ayo kita teruskan di restoran seberang..” Bagaimana mungkin aku mengajaknya lebih dulu. Aku tunggu, apakah keberaniannya bertambah setelah sekian lama. Sungguh pelamar menyebalkan.

 “ Flow…”

Tawaku terhenti seketika, aku tersentak. Ada semacam ledakan dahsyat di dalam otakku. Kepalanya segaris lurus dengan kepalaku. Matanya menelusuk tajam ke dalam mataku, lalu mengorek habis kedalaman hatiku. Ia sebut kata itu. “Flow”, tiba-tiba kata itu menjajah semesta otaku. Staf-staf mememori otaku kalang kabut. Ruang otaku tiba-tiba berubah menjadi semacam lautan proyektor besar. Mengalirlah potongan-potongan kisah 3 tahun silam.

Pelamar ini seperti mendapatkan energi gaib. Ia tatap aku dalam-dalam. Tepat di mataku. Ia berani. Ia tak berpaling. 

“ Apa benar kamu sudah berpisah dengannya?Maafkan aku, Flow…”

Aku bergeming. Bibirku terpatri. Ia ucapkan kembali kata itu. Kata yang melulu kudengar hanya dari bibirnya, yang sudah 3 tahun tak kutangkap lagi bunyinya. Oh tuhan, sebagai HRD profesional, aku rasa sebentar lagi aku kandas. Sungguh, ada getaran hebat kurasakan bertubi-tubi di dalam dadaku. 

Tiba-tiba pintu terketuk, 

“ Permisi, ibu Sukma. Sudah istirahat, mau saya belikan makanan?” 

Bapak OB melongok, dan memastikanku. 

“ Oh, terima kasih Kang. Tidak usah. Sebentar lagi saya selesai. Terima kasih Kang” 

Aku seperti terbangun dari mimpi sepersekian detik. Belum sempat akang OB menutup pintu, dengan gesit aku beranjak meninggalkan kursi.

 “Saya permisi ke toilet sebentar, tolong tunggu di sini ya.” 

Aku tinggalkan pelamar terkahir ini, lalu menyalip akang OB yang mematung dengan rona wajah bingung, di muka pintu ruang kerjaku. 

***

Di toilet, aku hadapi cermin. Keran kutekan, kurasakan betapa dingin air di tanganku menjelar ke sekujur tubuhku. Aku tatap dalam-dalam wajahku. Oh Astaga, ada keringat di keningku, ia melintasi alis, sebelum jatuh di bibirku yang merah, dengan lekas aku membasuhnya.

Kemudian, kupejamkan mata, aku hayati takjub yang melanda hatiku. Aku tak habis pikir. 3 tahun silam, betapa waktu yang panjang itu telah kulalui. Sudah seletih ini aku melangkah menjauhinya. Sejuta kenangan telah kupendam kuat-kuat, namun kenapa kita bisa berjumpa begitu dekat?

 

( Bekasi Februari 24, 2017 )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun