Aku lihat keringat mulai membasahi kening pelamar ini. Spontan, kunyalakan kembali AC, bisa jadi ia kepanasan, sehingga tidak fokus dengan pertanyaanku, atau mungkin dia memang pelamar yang lancang.
“Loh, bisakah Anda menjawab pertanyaan saya? Anda belum mendapat kesempatan untuk bertanya, bukan?”
Di sebuah kantor yang cukup berkembang ini, aku memang diperlukan untuk bersikap luwes dan friendly sebagai HRD, namun untuk kali ini tidak ada salahnya aku menjadi HRD yang tegas. Walau sebetulnya aku pegal untuk berlaku formal, dengan kekauan-kekauan ini. Namun aku baru sadar, ternyata profesionalitas terkadang memang perlu pada situasi tertentu.
“ Maaf…”
Wajahnya menunjukan kegelisahan, bila dipandang lebih kritis, pelamar ini seperti orang yang kepedasan, terlampau banyak makan sambal. Keringatnya makin nyata terlihat, keningnya yang lapang dan halus itu jadi mengkilap.
“ Sudah 3 kali saya bertanya, dan Anda melewatkannya dengan sia-sia. Saya akan ulangi pertanyaan, mohon jawab dengan serius”
Setelah mengagguk, tangannya terus menciptakan gerak-gerik yang aneh, jemari-jemarinya berayun-ayun mematuk meja, lantas terdengarlah bunyi beruntut krek-krek-krek.
“ Iya, maaf..”
Sebagai seorang perempuan, aku selalu risih berhadapan dengan pria yang tidak berani melakukan kontak mata denganku. Apalagi dalam pekerjaan ini. Aku heran, apa aku menyeramkan?
“ Oke, oke. Baiklah. Kita terlalu membuang waktu. Jadi, tolong Anda jelaskan, dari mana Anda dapat info kerja ini? dan mengapa kemudian Anda tertarik dengan posisi ini? Bukankah Anda kuliah di jurusan yang sangat berbeda seperti yang sudah Anda ceritakan pada perkenalan tadi.”
"Saya dapat dari website perusahaan…”