Menjelang zuhur, hujan turun lagi tipis-tipis, gerimis. Anehnya pelamar terakhir ini masih saja terlihat gerah. Ia tersadar kalau keringatnya kian menggangu. Sambil menata nafas, selampe ia raih dari tas, kemudian mengusap keningnya gopoh-gapah, lalu menengelamkannya pada saku. Sedangkan aku belum juga memalingkan padanganku padanya. Dan ia tetap belum bisa mengendalikan matanya, tatapannya tak tentu arah. Sesekali pandangannya menabrak keningku, sampai kemudian, ia berupaya menyambut mataku.
“Bagaimana kabarmu?”
Suaranya begitu pelan, tidak lembut, namun serak. Lemah iramanya, semacam ada sesuatu yang menahan tenggorokannya. Kulihat ibu jarinya bergetar. Keningnya mulai basah kembali. Sejenak kepalanya menunduk kembali. Tersisalah raut wajah yang melas.
“Anda menanyakan kabar saya?”
“ Ya...”
Aku tak boleh terpancing oleh momen aneh ini. Aku adalah sang profesional HRD. Kulihat ia mulai menegakkan punggungnya yang bungkuk. Kulepaskan sorot runcing mata sipitku. Ia terus mengelak. Ia sempat melepaskan matanya ke hidungku yang mangir, yang dulu kerap menjadi objek pujiannya. Namun kemudian ia kembali menunduk. Matanya berlabuh pada ilustrasi barisan kuda di atas meja kerjaku.
“ hahahaha”
Tiba-tiba aku tertawa. Kelucuan apa yang membajak pikiranku? Padahal apabila kutengok wajah pelamar ini, tiada kelucuan yang kutemukan,kecuali kenangan tentang kemunafikan. Tapi entahlah, tawaku meledak-ledak sampai aku terbatuk - batuk.
“ ...Anda ini aneh, hahaha.”
Ia belum juga sanggup menatapku. Kudapati ia merunduk, berpejam. Aku tetap berupaya keras menyembunyikan perasaanku dari kalimat-kalimat bibirku, “ kabar baik. Ayo kita makan siang.. Ayo kita teruskan di restoran seberang..” Bagaimana mungkin aku mengajaknya lebih dulu. Aku tunggu, apakah keberaniannya bertambah setelah sekian lama. Sungguh pelamar menyebalkan.
“ Flow…”