Yanes Lantu mengambil tiga kursi yang tersandar. Meletakkannya di depan gambar Yesus.
"Untuk sementara, rumah ini jadi tempat ibadah kami. Gereja yang lama tidak mungkin lagi kami tempati," ujarnya.
Lau Pun Nioh menyimak setiap detail perkataan Pendeta Yanes. Sesekali mengusap air matanya.
Hati umat agama apa yang tak sedih, jika melihat tempat ibadahnya hancur akibat abrasi? "Apa yang bisa nenek bantu?" kata Pun Nioh.
Yanes Lantu tersenyum. Berdiri dari kursi. Lau Pun Nioh, perempuan 70 tahun itu dipeluknya dengan erat. Sangat erat.
Sesekali, Yanes Lantu mengelus punggung Pun Nioh. Ini seperti melihat pertemuan orang tua dan anak yang lama terpisah. Saya tak bisa membendung rasa haru itu.
"Saat nenek di Vihara, titip doakan kami agar segera memiliki gereja lagi," ucap Yanes.Â
"Tuhan selalu bersama orang-orang yang baik, om," balas Lau Pun Nioh.
Sekali lagi, saya dihadapkan pada situasi yang membanggakan. Di sini, Indonesia masih baik-baik saja.
Sore beranjak malam. Suara debur ombak makin keras. Sayup-sayup terdengar suara adzan.
Lau Pun Nioh dan saya beranjak berdiri dari kursi. "Ada masjid, tak jauh dari sini, mas," kata Pendeta Yanes.