Aceng dan Pun Nioh dibesarkan dalam tradisi Tionghoa, Buddha dan Islam. Aceng fasih dan masih hafal surat Al-Ikhlas, meski mad dan qashr-nya tidak tepat.
Kini usia Aceng 72 tahun. Sering keluar masuk rumah sakit. Ia terkena serangan jantung. Hafal betul nama-nama daerah di Jakarta Barat, dan Jakarta Utara.
Sebelum tinggal di Cemarajaya, Aceng dan Pun Nioh pernah tinggal di Jakarta. Cukup lama memang.
Fisik Pun Nioh terlihat lebih kuat daripada Aceng, meski sudah sama-sama renta. Bacang menjadi salah satu tumpuan menyambung hidup.
Hanya itu yang bisa dia kerjakan. Pun Nioh tidak berkeliling untuk menjualnya.
Ia menitipkan bacang kepada tetangganya yang juga renta, dan tidak bisa mendengar.
Tetangganya itu yang berkeliling menjajakan bacang dari rumah ke rumah. 1 bacang dijual dengan harga Rp 2 ribu.
Tiba-tiba Pun Nioh mengajak saya pergi ke rumah Pendeta Yanes Lantu. Tak jauh memang. Tidak sampai 1 menit.
Sebelum pergi, Pun Nioh memasukkan beberapa bacang ke dalam tas kresek. "Untuk Om Yanes. Dia dan anak-anaknya suka bacang," jelasnya.
Di rumah yang dijadikan gereja sementara itu, Pendeta Yanes Lantu tengah berbincang dengan dua orang jamaahnya.
Barangkali, ada pembicaraan serius. Pun Nioh tak berani masuk. Kami memutuskan menunggu di teras rumah yang menghadap jalan dan laut.