Pun Nioh sudah tua. Sangat tua untuk mengerjakan pekerjaan itu. Mengambil minyak di bibir pantai, memisahkan dengan pasir, kemudian memasukkan minyak ke dalam kantong yang disediakan Pertamina.
"Saya cukup menyediakan bale-bale saja untuk istirahat. Kalau mau minum, saya juga siapkan," jelasnya.
Di dalam rumah yang minim penerangan itu, Pun Nioh duduk di tubir dipan. Mengambil dupa dan korek api. Menyalakan. Mengambil tikar.
Pun Nioh memilih berdoa di sisa siang yang terik dan debu yang sesekali masuk ke dalam rumah.
Saya menyaksikan itu sebagai sebuah bentuk keindahan. Bukan kepasrahan atas usia dan tenaganya.
Usai berdoa, Pun Nioh berjalan menuju dapur. Mengambil bahan-bahan untuk membuat bacang. Meski sudah sangat tua, Pun Nioh pantang menengadahkan tangan.
"Daripada minta-minta, lebih baik sisa tenaga dibuat untuk kebaikan," katanya.
Pun Nioh adalah seorang Buddhist taat. Tapi tidak fanatik. Ayahnya Buddha, ibunya Islam.Â
Umur 15 tahun menikah. Tidak punya anak biologis. Di rumah, hanya tinggal berdua dengan Aceng, suaminya yang kini terkena serangan jantung.
Aceng lebih sering tidak berada di rumah. Seminggu, barangkali hanya 2 hari ia ada di rumah.
Sisa waktunya habis untuk berobat ke Karawang yang waktu tempuhnya sekira 2 jam dari Desa Cemarajaya, Kecamatan Cibuaya.