Pun Nioh tidak protes. Tidak marah dengan keadaan. Ia tetap sabar. Ia sadar, harus ada yang tetap mencari uang untuk biaya berobat.
Kesempatan mendapatkan uang dengan cepat, terbuka di depan mata. Tapi Pun Nioh sudah renta.
Berpanas-panasan di bibir pantai sudah bukan waktunya. Ia hanya bisa menatap perempuan dan laki-laki muda usia berteman dengan terik memungut minyak mentah itu.
Pun Nioh mengajak saya melihat bangunan bekas gereja yang hancur akibat abrasi.
Sore yang hangat. Langkah Pun Nioh terlihat tidak seperti perempuan berusia 70 tahun. Bangunan bekas gereja itu letaknya hanya satu rumah di belakang rumahnya.
Tak ada lagi yang bisa membatasi ombak untuk masuk ke dalam bangunan yang hilang separuh itu.
Atapnya sudah rubuh. Sesekali, tempias ombak masuk ke dalam bangunan yang sudah tidak ada jejak-jejak bekas gereja.
"Jangan berdiri di situ. Nanti lantainya ambles," katanya. Saya pun bergeser, mengikuti perintahnya.
Tempias ombak sampai ke lantai bekas bangunan. Sesekali, Pun Nioh menatap jauh ke depan. Menatap lautan yang dulunya adalah rumah warga Cemarajaya.
Atau malah sebaliknya?
Pun Nioh menghela nafas, dalam dan sangat dalam. Ia memejamkan mata. Membiarkan angin laut memeluknya. Memeluk tubuh rentanya itu.