"Dulu lautnya masih sekitar 1 kilometer dari sini. Sekarang tak lebih dari 20 meter," jelasnya.
Saya hanya bisa memberikan senyuman. Tanda bahwa saya sudah kehabisan kata-kata atas peristiwa yang menimpa warga Desa Cemarajaya ini.
Tapi, Lau Pun Nioh tak sedikit-pun menunjukkan ekspresi takut tinggal dan menetap di daerah yang terancam hilang akibat abrasi ini.
Ia dan ribuan warga Desa Cemarajaya sudah sangat berpengalaman menghadapi abrasi.
Ya kalau rumahnya hancur, pindah lagi, katanya, "Geser ke tanah yang masih kering. Di sana,". Sambil menunjuk hamparan tambak udang yang memang dikeringkan untuk menghindari dampak tumpahan minyak.
Hingga 28 Agustus 2019, ceceran oil spill di Cemarajaya makin banyak. Bahkan, menurut banyak pemberitaan, ada sekitar 20 keluarga mengungsi karena minyak sudah masuk rumah.
Itu terjadi di Dusun Cemara 2. Rumah mereka berada tepat di tubir pantai. Sama dengan gereja di belakang rumah Lau Pun Nioh.
Sepasang sumi istri meninggalkan rumah Pendeta Yanes Lantu. Kami dipersilahkannya masuk.
Begitu masuk, kami dihadapkan dengan poster besar bergambar Yesus. Di sampingnya, sebuah mimbar kecil dengan lambang salib. Tumpukkan kursi disandarkan pada dinding yang belum selesai dicat.
"Ini kamar anak-anak tadinya. Terus saya bongkar, dijadikan tempat ibadah," kata Yanes Lantu.
Ia lelaki asal Ambon. Lebih dari 10 tahun menetap di Cemarajaya, menjadi pemimpin jamaah umat Kristiani.