Secara sistematis, peristiwa itu diawali ketika terjadinya gerakan kelahiran kembali (renaisance) yang terjadi pada sekitar abad ke 15 di Eropa Barat dan Italia. Gerakan ini muncul sebagai kritikan terhadap eksistensi agama yang terkesan arogan terutama karena adanya otoritas penuh yang dimiliki oleh pemuka agama.Â
Kritikan pertama dilontarkan kepada agama yang dianggap telah melahirkan mitologisasi sehingga membelenggu kebebasan manusia untuk bergerak dinamis. Akibatnya manusia tidak dapat melakukan refleksi kritis terhadap realitas kosmologis yang berada diluar dirinya, dimana kemudian realitas kosmologis itu dinterpretasikan oleh agama dengan pendekatan yang irrasional dan dianggap memliki kekuatan supernatural.Â
Paham ini kemudian dikhawatirkan akan menimbulkan konsep tentang pluralitas "tuhan". Krtikan kedua dilontarkan pada aplikasi sosial yang sering ditunjukkan agama, dimana agama kemudian diidentifikasi sebagai misteri yang menakutkan dan mencekam (misterium fremendum dan misterium fascinosum)
Gerakan renaisance ini disertai dengan terjadi revolusi ilmu pengetahuan (scientific revolution) yang puncaknya terjadi pada revolusi industri di Inggris. Menurut Kuntowijoyo, gerakan ini telah melahirkan revolusi paham keagamaan yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki kebebasan dan juga melahirkan revolusi pemikiran, ilmu dan teknologi yang kemudian membawa dunia pada puncak peradaban modern.
Titik kulminasi gerakan renaisance ketika terjadi pertentangan sengit antara pemuka agama gereja dengan para ilmuwan, mengenai sistem yang berlaku di alam semesta. Para ilmuwan seperti Copernicus kemudian diikuti oleh Tycho, Kepler dan Galileo berpendapat bahwa alam pada dasarnya berpusat pada matahari dan selalu beredar mengelilinginya (heliosentrisime).Â
Pendapat ini bertentangan sebagaimana yang sebelumnya telah dipegang teguh oleh pemuka gereja sebagai doktrin dan dogma yang mengikat bahwa bumi merupakan pusat dari alam (geosentrisime).Â
Pertentanagan ini semakin memanas ketika pemuka gereja memutuskan untuk menghukum mati dengan membakar hidup-hidup Giordano Bruno pada tahun 1600 yang tetap mempertahgankan pandangan heleiosentrisnya, yang secara diametral pandangan tersebut bertentangan dengan keinginan pemuka gereja.
Setelah kejadian ini polarisasi agama dengan ilmu pengetahuan semakin tampak jelas dengan semakin tersingkirnya agama dalam kehidupan sosial masyarakat.Â
Ada beberapa faktor yang menyebabkan semakin tersingkirnya peran agama, diantaranya secara internal, disebabkan karena pemahaman keagamaan tidak mampu menempatkan dirinya sebagai kebutuhan yang bersifat kosmopolitan dengan pendekatan inklusif, sebaliknya lebih terkesan otoriter dengan pendekatan eksklusif.Â
Sedangkan secara eksternal, disebabkan karena semakin derasnya arus perkembangan sejarah yang bertumpu pada kekuatan rasionalitas manusia yang kemudian mengancam kedudukan agama karena tidak diapresiasi secara kritis, etis dan konstruktif oleh pemahaman agama itu sendiri, sebaliknya pemahaman agama cenderung melakukkan pelarian (escapisme) serta berlindung dibawah dogmatisme agama.
Kegagalan agama tersebut dijadikan tolok ukur untuk semakin mempercayai rasio untuk memasuki dimensi sosial manusia. Akibatnya, semakin berkembangnya berbagai paham kemanusiaan dan ilmu pengetahuan sebagai derivasi dari rasionalisme tersebut. Disatu sisi tumbuhnya paham sekularisai, fragmentasi dan egalitarianisme merupakan gejala yang terniscayakan sebagai akibat dari rasionalisme tersebut