Pendahuluan.
Agama dalam konteks kajian sosial merupakan sebuah pengakuan personal maupun kolektif terhadap unsur suprarasional yang mempengaruhi pembentukan sistem dan lembaga sosial keagamaan di tengah-tengah masyarakat.Â
Oleh karena itu dalam hal ini agama diposisikan dalam mainstream universal yang harus dipandang dari sudut antropologis dan historis.
Dalam skala yang lebih luas, agama tidak dapat dilepaskan dari nilai dan norma yang mengikat yang yang harus dilakukan secara terus-menerus (continue) oleh para pengikutnya yang akhirnya mengkristal dan membentuk kebudayaan yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk simbol-simbol keagamaan dan media penyembahan.
Aturan yang sakral dalam ajaran agama menuntut adanya pemahaman yang dogmatis dan radikal. Dalam tataran aplikatifnya, aturan sakral tersebut berafilliasi dengan tipologi masyarakat.Â
Menurut Elizabeth K. Nottingham, agama memainkan peranan yang penting dan esensial pada masyarakat primitif dan mulai mengalami pergeseran pada masyarakat praindustri serta kehilangan hegemoninya pada masyarakat industri.Â
Fenomena ini merupakan kenyataan historis, dimana mulai terjadinya fase persinggungan antara ajaran dogmatis yang terdapat dalam agama dengan perkembangan ilmu pengetahuan (science) yang dinamis.
Munculnya dilemma yang berkepanjangan antara agama dan ilmu pengetahuan (science) terjadi karena adanya perbedaan orientasi struktur sosial yang ingin dicapai dalam masyarakat.Â
Hal senada juga dilontarkan Anthony Wallace yang menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan telah memberikan rekomendasi untuk melunturkan kepercayan agama, dan kita ketahui apabila orang memperoleh pandangan intelektual yang sangat berkembang (khususnya pandangan ilmiah) maka pandangan keagamaan mereka cenderung untuk merosot.
Baca juga : Taburkan Ilmu Pengetahuan, Semaikan Pendidikan, Kobarkan Api Hardiknas 2021
Agama dan ilmu pengetahuan dalam konteks kajian sosial, primordialnya memiliki kesamaan kegunaan (utility), yaitu untuk kepentingan manusia secara emosional dan rasio.Â