Herman menanyakan duduk perkaranya ke Apon Suryana, Kepala Dinsosnaker Banten waktu itu. Keluarlah perintah dari Apon untuk cek lapangan. Herman, Pinlak dan seorang PNS Badiklat Banten turun ke lapangan.
Hasilnya, hanya ada 4 perahu yang dicap bantuan dari Pemprov Banten. Itu pun kondisinya sudah lapuk, hanya dicat baru saja. Apon pun memerintahkan menarik 4 perahu itu dan menjanjikan 9 perahu baru.
Ternyata janji tinggal janji. Bantuan perahu itu tak kunjung datang. Nelayan pun bersiap aksi. Tertunda karena diundang Pinlak untuk bermusyawarah di Rumah Makan Paramita. Herman Fauzi tak hadir waktu itu. Pinlak juga hanya bisa menjanjikan 9 perahu baru.
Beberapa hari kemudian, penerima bantuan dikumpulkan oknum aparat militer dan diminta menandatangani surat pernyaatan Permasalahan Sudah Selesai, dengan janji perahu segera dikirim. Setelah menandatangani pernyataan itu, masing-masing kelompok diberi transport Rp500 ribu. Tetap saja perahu tak kunjung datang.
“Halah ini sih akal-akalan. Biar ada bukti masalah telah selesai. Terus bagaimana mang?,” aku penasaran.
“Ya warga penerima bantuan bikin surat pernyataan lagi, mencabut surat pernyataan terdahulu. Bahkan melaporkan pemalsuan tanda tangan mereka di Berita Acara Serah Terima (BAST) ke Polres Pandelgang pada tanggal 11 Januari 2007,” kata mang Kasman.
“Terus mang?,” tanyaku.
“Kemudian hari, kata Polres Pandeglang kasus ini sudah ditangani Polda Banten. Tak ada kemajuan. Merasa tak puas, nelayan didampingi Herman Fauzi melapor ke Kejati Banten,” jawab mang Kasman.
“Ada kemajuan di Kejati Banten mang?,” aku berharap.
“Tenggelam...” sindir mang Kasman.
“Memang berapa mang kegiatan itu?,” tanyaku.
“Rp1,357 miliar dan diduga kuat di rekening 2.1201.2.02.02 biaya jasa pihak ketiga Rp190 juta. Tahu enggak yang lucu dari kejadian itu?,” jawab mang Kasman.
“Enggak mang. Apa?,” kataku.