Mohon tunggu...
Dimas Jayadinekat
Dimas Jayadinekat Mohon Tunggu... Freelancer - Author, Freelance Script Writer, Public Speaker, Enterpreneur Coach

Penulis buku Motivasi Rahasia NEKAT (2012), Penulis Skenario lepas di TVRI dan beberapa rumah produksi (2013-kini), Penulis Rubrik Ketoprak Politik di Tabloid OPOSISI dan Harian TERBIT (2011-2013), Content Creator di Bondowoso Network, Pembicara publik untuk kajian materi Film, Skenario, Motivasi, Kewirausahaan, founder Newbie Film Centre

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Petuah Pak Tua di Pinggir Jalan

16 September 2024   08:59 Diperbarui: 16 September 2024   17:22 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Vlad Chețan: https://www.pexels.com/

Muak rasanya mendengar aneka nasihat yang terus mengalir memenuhi otak dan mungkin saja sudah luber! Itulah yang dirasakan Vino belakangan ini. Segala hal yang kemudian menjadi problem terus menumpuk dan membesar tanpa arah serta gambaran ditemukannya solusi.

Lelah terus berada di rumah, membuatnya merasa nyaman berpergian entah hanya dengan berjalan kaki, bersepeda motor, ataupun menggunakan moda transportasi yang tersedia di kepadatan kota Jakarta.

"Hmmm...padat, macet, polusi, panas terik! Bikin makin bete!" maki Vino dalam hatinya menjumpai sesuatu yang sudah menjadi hal biasa di kehidupan warga Jakarta itu.

Dan tiba-tiba bensinnya habis...

Ini sih ibarat kata, sudah jatuh tertimpa tangga kecemplung sumur!

Mana segala peribahasa indah yang katanya bisa mengubah pikiran dan menggerakkan hati orang untuk melakukan perubahan?

Bullshit!

Dalam situasi seperti yang dialami Vino itu, marah, mengumpat dan memaki rasanya menjadi hal terindah serta lazim dilakukan. Terutama bagi mereka yang tiap hari mengalami hidup seperti Vino yang penuh masalah, apalagi dengan tidak terlihatnya "hilal" solusi.

"Sial ini motor!" makinya sambil menendang ban motornya kencang, namun setelah itu ia nyengir kesakitan.

Namun di sisi lain, pikirannya mulai  jahil dengan menciptakan kata serta situasi berlawanan di dalam kepalanya!

"Bukan motornya yang sial! Elo yang sial bin apes karena dasarnya elo tuh pecundang!" ucap sadis sisi lain pikiran Vino

Lima detik ia baru merasakan motornya mati karena kehabisan bensin, overthinking sudah menjalari pikirannya. Dan beberapa detik kemudian kata-kata yang entah muncul darimana, terus bersahut-sahutan dengan menyebalkannya.

"BERISIK!!!" teriak Vino spontan.

SRETTT..GUBRAK...

Seorang pedagang kopi starling mendadak terpleset karena kaget oleh teriakan Vino yang serasa tepat di kupingnya. Memang sih, teriakannya itu cukup kencang dan mengagetkan, jadi wajar juga ketika si pedagang kopi starling itu terkejut.

Awalnya Vino cuek dan tak menggubris si pedagang kopi starling, tapi melihat orang itu bersungut-sungut menyalahkannya, Vino merasa tidak enak juga.

"Eh, maaf bang..kaget ya?" tanya Vino bodoh.

"Pake nanya lagi, bantuin ngapa!" bentaknya.

"Eh, iya..iya..maaf bang," ucap Vino kemudian membantu si pedagang kopi starling.

Vino mengangkat sepeda si pedagang yang menindih pahanya. Air panas tumpah dari termos, membasahi aspal jalanan yang juga sudah panas. Dan semua barang dagangannya berantakan serta berserakan di jalan.

"Ada yang luka, bang?" tanya Vino cemas.

Si pedagang melihat sekujur tubuhnya dan berhenti di lututnya. Celana bahannya robek dan tampak luka lecet yang terlihat dari robekan celana.

"Noh, lu lihat sendiri. Lecet, sama ini nih, pinggang sama paha gue, sakit," katanya menjelaskan

Vino pun deg-degan, "Gawat, bakal ditembak duit ganti rugi nih kalo begini caranya," pikirnya dalam hati.

Si pedagang kemudian bangkit setelah dengan cepat memberesi semua dan tanpa adanya indikasi meminta ganti rugi, si pedagang pun bersiap akan pergi.

"Bang.." panggil Vino sebelum ia mengayuh sepedanya.

"Ape lagi? Kalo cuma teriak doang sekarang gue kagak bakalan kaget, kecuali elu pake toa, biar mati sekalian dah gue!" si pedagang berkata dengan sewot.

"Ya nggaklah bang. Saya juga kan nggak pernah punya niat ngagetin abang," Vino terlihat menahan kesal sekaligus merasa tidak enak.

"Ya udah gue jalan, jangan ganggu gue lagi," ucapnya.

"Bang," panggil Vino lagi.

"Apaan lagi sih!" bentaknya.

Dan tiba-tiba si pedagang terdiam menatap Vino, kemudian melihat ke arah tangannya yang memegang uang lembaran seratus ribu.

"Untuk abang," ucap Vino menunduk karena merasa bersalah.

"Maksudnya apa sih?" tanya si pedagang lagi.

"Ini uang saya kasih untuk ganti rugi," Vino berkata agak gemetar.

"Beneran nih?"

"Iya bang, cuma ini yang saya punya," Vino berkata memelas.

"Udah, kagak usah. Kita sama-sama lagi susah. Gue kagak mau bikin elu tambah susah. Ambil aja duit lu," ucapnya.

Dug. Vino merinding, jarang ada orang sebaik itu, batinnya berkata dengan coba menambahkan ucapan syukur kepada Tuhan.

Vino kemudian melanjutkan perjalanannya menuju SPBU yang ia ingat kurang lebih berjarak 2 Km. Sudah beberapa kali ia lewati salah satu jalan utama di Kota Jakarta itu. Namun baru berjalan kurang lebih 1 Km, ia sudah mulai terasa lelah, cuaca panas terik yang menjadi salah satu penyebabnya. Keringat mengalir di sekujur tubuhnya, mulut dan tenggorokannya pun kering. Kemudian ia melihat ada halte yang berada tidak jauh darinya.

Dengan sedikit menguatkan diri, ia berjalan menuju halte untuk beristirahat sambil berpikir harus mengambil sikap apa. Terus melanjutkan perjalanan dengan mendorong sepeda motor, atau meninggalkan sepeda motornya di situ sambil berjalan menuju SPBU. Rasionalitas dan logikanya terganggu dengan rasa lelah, yang sebenarnya diperkuat dari kelelahan jiwanya di dalam mengarungi ujian kehidupan.

Vino memarkir motornya dengan menaikkannya ke trotoar, persis di samping halte. Di halte duduk seseorang yang sudah terlihat lanjut usia, mungkin sekitar 70 tahunan lebih.

"Permisi, pak. numpang duduk," sapa Vino sopan.

"Ya duduk dah. Tinggal duduk aja pake minta izin," jawab Pak Tua.

Vino terlihat lelah dan wajahnya tampak kuyu, itu semua tak luput dari perhatian Pak Tua yang mengamati Vino dengan singkat.

"Minum," Pak Tua menyodorkan sebotol air mineral ukuran 600 ml yang masih tersegel.

"Makasih, Pak. Saya nggak haus kok. Lagipula itu masih disegel," Vino menolak halus.

"Jangan suka nolak rejeki. Saya mah gampang, nanti bisa beli lagi. Kamu lagi butuh. Ayo, minum, biar kuat dorong motor lagi."

Vino masih terlihat ragu, tapi rasa haus sudah mulai mencekiknya hingga mau tak mau ia menerima dan langsung meminumnya tanpa bernapas.

"Sabar. Minumnya nggak usah sampe segitunya, berhenti, minum lagi. Gitu," Pak Tua mengingatkan Vino.

"Oh, iya, Pak." Vino pun mengikuti saran Pak Tua dan tanpa sadar, sebotol air mineral itu pun habis, "Wah, maaf pak, habis airnya." ucap Vino tak enak.

"Ya nggak apa lah. Kan memang kamu lagi kehausan," Si pak Tua berkata sambil tersenyum.

Vino menarik nafas dalam-dalam, merasa lega karena hausnya hilang. Ia pun kini meluruskan kaki dan juga sedikit memijat punggung serta pundaknya.

"Bapak lagi ngapain di sini?" tanya Vino.

"Lagi menikmati kota Jakarta dengan mencoba ikhlas bersyukur hidup di dalamnya," jawab Pak Tua.

"Apanya yang dinikmati, Pak? Macet, berisik, polusi, biaya hidup mahal, wah masih banyak lagi lah," tutur Vino.

"Apa salah menikmati sesuatu yang sepintas tak pantas untuk dinikmati?"

Jleb. Dada Vino mendadak seperti dihujam oleh tombak tajam yang dilontarkan dari jarak jauh.

"Ya nggak apa-apa juga sih. Bebas aja,"

"Itu dia. Bebas aja. Kita ini hidup di dunia, bebas memilih. Mau sedih, mau senang, marah, tertawa, sakit hati, gembira, semuanya bebas dipilih. Sampai nanti akhirnya kita nggak bisa memilih sama sekali, yaitu ketika nyawa sudah sampai tenggorokan," ucap Pak Tua panjang dan penuh makna.

Vino menoleh dan memandang Pak Tua yang terlihat tenang menatap lurus ke depan, "Keren juga nih jawaban si bapak," kata Vino dalam hati.

"Dan rasa syukur atas segala hal yang menimpa kita itu, penting untuk dinikmati," lanjutnya.

"Gimana caranya?" tanya Vino penasaran.

"Ya nikmatin aja. Sama kayak kamu bernapas. Kamu itu lagi menikmati oksigen. Apa bisa kita ingat-ingat proses dan teorinya, atau kita ajari orang gimana napas yang baik sesuai teori yang baik dan benar. Gitu?"

"Nggak gitu juga sih, pak,"

"Itu dia. Hidup itu bukan untuk dipikirkan, dibuat pusing, dibikin baper kalo kata anak sekarang. Hidup itu untuk dijalani, ya maka kita jalani aja. Nggak usah ngarep begini begitu, nggak usah kecewa kalo harapannya nggak terwujud. Nggak usah sakit hati sama omongan orang, tapi tetap baik bantuin orang, simpel," Pak Tua nyerocos memberikan petuah dadakan.

"Pak, maaf. Bapak ini siapa sih? Kok saya denger omongan bapak adem banget. Padahal kita baru kenal," Vino berkata kagum.

Si Pak Tua tiba-tiba tertawa keras, Vino jadi bingung.

"Yang memilih untuk adem itu pikiran kamu. Bukan omongan saya. Manusia punya mulut, tinggal ngoceh apa aja gampang. Tapi yang nerima itulah, yang bikin ocehan orang itu bisa beda. Kamu adem, karena nalar kamu nerima. Dan nalar kamu nerima, karena habis minum. Capek kamu hilang," Si Pak Tua berkata lebih dalam dan berfilosofi segala.

"Bener juga, ya," Vino seperti menemukan sebuah pencerahan dari penjelasan si Pak Tua.

"Iyalah. Maka hidup nggak perlu maksa. Kalo capek, istirahat. Kalo ngantuk, tidur. Kalo laper, makan,"

"Setuju."

"Motor kamu kenapa?" tanya si Pak Tua memandang motor Vino

"Abis bensin, pak," jawab Vino

"Bensin boleh abis. Tapi isi otak harus terus penuh. Nggak usah ngeluh kalo pusing karena mikirin solusi dari masalah hidup kamu."

"Pak, bapak ini malaikat atau jangan-jangan waliyullah sih? Tau-taunya saya lagi banyak masalah.."

Pak Tua pun tertawa lagi dan tiba-tiba pergi begitu saja tanpa pamit. Di saat itulah HP Vino berbunyi, istrinya menelepon. 

Dan Vino pun menjelaskan situasinya saat itu dan rencananya setelah bensin motor terisi. Istrinya mendengarkan dan menerima semua ucapan Vino hingga akhirnya mengatakan bahwa dirinya menunggu di rumah.

Vino memutuskan sambungan telepon karena sudah selesai bicara, ia pun menoleh ke arah si Pak Tua berjalan.

"Dih, kemana itu bapak?"

Vino heran dan terkejut karena ia menelepon tidak lama. Dari sudut matanya ia masih sempat melihat kepergian Pak Tua ke arah mana, namun saat menutup telepon tadi pandangannya agak teralihkan. Dan ketika menoleh, si Pak Tua sudah tak terlihat...***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun