[caption caption="Dok. Pribadi"][/caption]
2. Si Jutek
Adzan shubuh telah lewat beberapa menit. Zaniar menggeliat, kemudian membuka matanya dengan berat. Telinganya mendengar suara gemericik air gerimis. Hawa dingin terasa menerpa kakinya ketika gadis itu hendak turun. Zaniar kembali menarik kakinya, dimasukkannya kembali di bawah selimut lusuh.
“Ibu sudah bangun Bu?” tanya Zaniar memanggil ibunya.
“Sudah dari jam setengah empat tadi.”
“Hujan ya Bu?”
“Gerimis. Sholat shubuh dulu.”
“Sebentar lagi, dingin Bu.”
“Jangan manja Zan. Awas di sebelah pintu ada baskom. Airnya banyak lho!” Kata ibunya dari belakang.
“Bocor lagi ya Bu?”
“Yaaa…. Begitulah!”
Zaniar bangkit. Dilawannya udara dingin yang menerpa badannya. Ia ingat harus segera membantu ibunya menyiapkan jajanan dagangannya. Perlahan gadis itu bangkit, kemudian berjalan pelan. Seperti kata ibunya, sebelum pintu ada baskom berisi air cucuran dari atap yang bocor. Dulu, ketika ayahnya masih ada, laki-laki itu yang selalu sibuk mengurus atap bocor. Kini tak ada lagi.
Dulu Zaniar sangat mengagumi ayahnya. Laki-laki itu pekerja keras. Sebagai kepala keluarga laki-laki itu tampak tegar. Kerja serabutan ia lakoni setiap harinya. Rejekinya juga tidak tentu. Tetapi ia tak pernah mengeluh tentang apapun. Keadaan ekonomi yang pas-pasan pun tak pernah dikeluhkannya. Di mata Zaniar keluarga yang utuh, ada ayah dan ibunya adalah sesuatu yang harmonis dan membahagiakan. Ia hampir tak pernah menolak apa yang ia makan setiap hari. Zaniar sebagai anak tentu menganggap itu hal yang wajar.
Namun di luar dugaan, suatu waktu laki-laki itu tak pernah datang lagi. Setelah satu minggu tidak pulang, ibunya kelimpungan mencarinya. Usahanya tak membawa hasil. Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga sekarang telah terhitung lima tahun laki-laki itu tak ada beritanya. Hingga akhirnya Wartini dan Zaniar tak mengingat-ingat lagi. Mungkin laki-laki itu masih hidup, tetapi keduanya tak pernah berharap lagi akan kehadirannya.
Duk! Byur! Aaaa…..!
Zaniar menjerit. Ia kaget sendiri. Lamunannya membawanya tak sadar kakinya menendang baskom berisi air hingga airnya tumpah membasahi lantai ke mana-mana.
“Ada apa Zan?” Tergopoh-gopoh ibunya mendatangi.
“Air ketendang Bu.”
“Oooohhh…kan ibu sudah bilang, di dekat pintu ada air bocoran.” kata ibunya seraya menggeleng-gelengkan kepala.
“Yaaa dulu ayah yang suka mengurus air bocoran.”
“Iya duluuu….. sekarang biar saja. Kapan-kapan kita bisa meminta tolong Mang Sarno.”
“Lebaran nanti ayah pulang nggak Bu?” tanya Zaniar sekenanya. Siapa tahu lebaran adalah hari yang dijadikan momen ayahnya untuk kembali.
“Jangan begitu Zan. Sudahlah ….. kamu shalat shubuh dulu, ini sudah jam setengah lima. Kesiangan shalatnya lho!”
***
Hari Sabtu.
Jam setengah tujuh pagi Zaniar sudah sampai di halaman dalam sekolah. Gapura masuk yang bagus bertuliskan SMA Kota Angin. SMA tempat Zaniar menuntut ilmu, dan jalan mendapatkan rezeki.
Sebelum masuk kelas gadis itu menuju ke koperasi siswa untuk menitipkan makanan jajanan buatan ibunya. Nanti siang sepulang sekolah ia tinggal menghitung berapa banyak yang laku, berapa uang yang dibawa pulang. Usai menyimpan titipan ibunya, Zaniar bergegas masuk kelas. Di depan kelas XI IPA 9 telah berjejer teman-temannya. Wajah mereka tampak kesal.
“Mau bikin masalah?!” tanya Zaniar memulai.
“Boro-boro salam Niar! Jutek banget kamu!”
“Memberi salam itu tidak wajib! Kalau menjawab memang wajib! Lagi pula kenapa mata kalian galak sekali?”
“Niaaar! Sudah! Jangan ceramah! Kenapa siang banget sih?” kata Nanik teman dekatnya menghadang di depan pintu kelas.
“Yang penting tidak terlambat kan?”
“Sini LKS-mu!” kata Nanik seraya membuka resluiting tas Zaniar. Gadis itu tak bisa berbuat apa-apa terhadap polah temannya itu. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Pantas Indonesia tak maju-maju!” tak urung Zaniar bergumam seraya melempar tas yang telah diambil LKS-nya.
“Huuuh! Sok ahli jadi analis! Apa hubungannya nyontek LKS dengan Indonesia yang tak maju-maju?”
“Kamu itu titik sampel! Teman-teman di kelas ini titik-titik sampel lain! Kebiasaan kalian menyontek LKS itu membuat kalian itu malas! Kalian adalah….. “
“Generasi peneruuuuuus buuuuuuu!” Kata teman-temannya yang merasa sedang disindir begitu kompak. Namun setelah itu mereka terbahak-bahak bersama-sama. Selanjutnya LKS Zaniar jadi bahan referensi – tepatnya dicontek – teman-temannya.
“Niar! Sudahlah, toh LKS ini juga tidak pernah dikoreksi sama guru! Jadi biar saja nyontek. Bukan begitu teman-teman?” kata Nanik sambil asyik menyalin pekerjaan Zaniar.
“Ya-o! Buat apa capek-capek mikir kalau hasil pekerjaan tidak dihargai!” timpal yang lain.
“Karena guru-guru tahu bahwa kalian menyontek, akhirnya guru-guru juga seperti kalian, ngapain dikoreksi toh itu hasil sontek menyontek!” kata Zaniar tak mau kalah.
“Ya kalau begitu ngapain suruh beli LKS!”
“Dibilangin kamu suruh pinter!”
“Nonsense!”
“Buktinya? Aku pinter! Ya nggak?” kata Zaniar bangga.
“Dari sononya kaliii….”
“Bukan! Itu karena kalian malas!”
“Perasaan biasa-biasa sajaaa….. “
“Ya! Biasa malas!”
“Hahaaa!”
“Awas! Nanti istirahat ada nasehat lagi! Dengar!” kata Zaniar kepada teman-teman yang masih asyik merubung LKS-nya.
“Ya buuuuu…….!” jawab mereka serentak.
“Dasar!” gerutu Zaniar.
Jam sepuluh kurang seperempat pelajaran Biologi sedang berlangsung. Tiba-tiba pintu diketuk. Bu Eti , guru biologi, membuka pintu. Dari balik pintu guru piket melongok ke dalam.
“Zaniar ada?” tanyanya sambil mengedarkan pandangan.
“Ada Bu!” Zaniar menyahut seraya mengangkat tangan.
“Kepala sekolah memanggilmu!”
“Ooohh…. “
Zaniar minta ijin kepada Bu Eti, kemudian keluar kelas. Keduanya berbicara di luar.
“Ada apa sebenarnya to Bu?” tanya Zaniar.
“Maksudnya apa?”
“Ya sebentar lagi kenapa sih Bu? Pas istirahat kan tidak mengganggu belajar .“
“Ssss…ttt… ini darurat. Yang memanggil bapak kepala sekolah.”
“Ibu bohong.”
“Enak saja kamu mengatakan ibu bohong!”
“Bukannya bapak kepala sekolah sedang ke Jakarta bu?”
“Tahu dari mana?”
“Beliau mengatakan pas upacara Senin pagi kemarin. Katanya dipanggil Pak Dirjen. Iya kan bu?”
“Ibu malah tidak tahu!”
“Yaaa… itulah kalau guru-guru malas ikut upacara! Siswanya saja dikejar-kejar suruh upacara! Makanya ketinggalan informasi!”
“Kamu ini tidak sopan bicara pada orang tua Zan!”
“Yaaa… maafkan saya Bu.”
“Enak saja! Belajar sopan santun bicara dengan orang tua!”
“Ya Bu. Maaf, tapi ibu berbohong kan? Bapak kepala tidak ada kan?”
“Iya! Iya! Memang bapak kepala tidak ada …. tidak tahu ke mana….”
“Kan sudah saya beritahu, menghadap Pak Dirjen.”
“Sok tahu kamu!”
“Kan pak kepala sendiri yang bilang pada saat upacara! Masak saya tidak boleh percaya ke beliau. Apa beliau bohong juga seperti ibu?”
“Niar!”
“Kenapa Bu?”
“Jaga mulut kamu!”
“Mulut saya kenapa Bu? Saya pikir saya tidak perlu menjaga mulut! Mulut saya sudah benar! Sesuai ajaran guru PAI Pak Haji Jalal.”
“Jadi benar kata guru-guru lain, kamu memang anaknya beda. Tidak tahu etika!”
“Kan saya sekolah di sini biar saya beretika. Saya sedang mencari sosok-sosok guru yang patut diteladani ….. yaaa memang tidak semua guru patut diteladani!”
“Kamu menyindir saya ya?!”
“Tidak.”
“Untung saya tidak mengajar kamu! Kalau mengajar kamu, nilai kamu dua puluh di rapor!”
“Kenapa Bu?”
“Karena kurang ajar.”
“Saya jadi bingung Bu ….. saya yang benar, malah ibu yang marah-marah.”
“Sial! Kamu dipanggil Bu Yati bendahara tahu?!”
“Jadi bukan kepala sekolah kan?”
“Iya , Bu Haji Yati!”
“Berapa beratnya sih ibu bilang begitu dari awal Bu. Pakai bohong dipanggil kepala sekolah segala…. ”
“Kamu nunggak ya?”
“Biasa Bu! Orang miskin!”
“Sudah miskin belagu pula!”
“Terserah lah Bu ….. maaf, kalau saya telah menyakiti hati ibu….”
“Enak saja minta maaf!”
“Terus? Saya harus bagaimana?”
Guru piket yang memanggil Zaniar tidak menjawab. Guru perempuan itu meninggalkan Zaniar dengan langkah yang lebih panjang. Zaniar hanya menggeleng. Sulit sekali hidup ini, kata hatinya. Gadis itu menggeleng sekali lagi, kemudian masuk kembali ke kelas.
Bel istirahat berbunyi. Zaniar bergegas menuju ruang bendahara untuk memenuhi panggilan bendahara sekolah. Namun beberapa temannya menahannya tatkala melihat Zaniar beranjak dari duduknya.
“Kenapa?” tanya Zaniar datar.
“Mau kemana?”
“Dipanggil bendahara. Biasa, urusan tunggakan bayaran.”
“Oooo…. katanya kalau istirahat mau ngasih nasehat lagi!” kata Nina sambil memegang lengan Zaniar.
“Apa kalian tidak jenuh dengan nasehatku?” tanya Zaniar meninggi.
“Tidaaaaaaaaaaaaaaak!” jawab teman-temannya serempak.
“Sial! Aku yang jenuh!” kata Zaniar kesal.
“Kok bisa?”
“Nah inilah akibat kalian selalu menyontek. Ulangan menyontek, LKS menyontek, tugas kelompok titip nama. Kalian jadi blo’on! Tahu nggaaaak?” suara Zaniar meninggi.
“Enggaaaaak!” teriak teman-temannya meninggi pula.
“Huuuuuh menyesal punya teman kalian!” Zaniar benar-benar kesal.
“Kami tidaaak menyesal punya teman Zaniar! Hahahaaaa…….” timpal teman-temannya.
“Huuuuuuuhhhh….. sebal!”
Gadis anak penjual jajanan itu bergegas meninggalkan kelas.Beberapa teman dari kelas lain yang dilewatinya menyapanya, tapi tak digubrisnya. Keruan saja teman-temannya itu terheran-heran, bengong, saling pandang, kemudian menghela nafas.
Melewati depan ruang guru, langkah Zaniar agak tertahan. Dari ruang guru muncul Pak Nanto, wali kelasnya. Gerakan Zaniar yang agak ganjil terbaca oleh gurunya itu.
“Zaniar… sini!”
“Ya Pak.”
“Ada masalah apa?”
“Ooo..mmmm.. dipanggil bendahara Pak.”
“O.. ya sudah.”
“Permisi Pak.”
“Ya, ya… silakan! Nanti dari Bu Yati kamu ke Bapak dulu ya.”
“Insya Allah Pak.”
“Kenapa Insya Allah?”
“Saya tidak yakin akan menghadap Bapak. Siapa tahu lama.”
“Oooo…. tapi, tapi …. “
“Insya Allah Pak…. permisi Pak.”
Tanpa menunggu jawaban Pak Nanto, Zaniar melanjutkan langkahnya. Wali kelasnya terbengong-bengong. Zaniar tidak peduli. Baginya tak harus banyak basa-basi. Sebuah sifat yang paling menonjol di mata teman-temannya juga begitu. Zaniar orangnya terlalu serius. Tak banyak waktu untuk bercanda yang tak perlu.
Empat menit Zaniar sampai di depan ruang bendahara. Pintunya agak terbuka sedikit. Ketika Zaniar akan masuk, dari dalam keluar Bu Yati.
“Naaa…. ini Zaniar !”
“Ya Bu.”
“Kebetulan sekali ….. tolong kamu ke kantin Bi Marni dulu, tolong ibu belikan lotek ya. Ini uangnya. Lima ribu saja. Yang pedas.”
Zaniar menghela nafas dalam. Hatinya dongkol. Pikirannya terbayang, setelah istirahat ada ulangan matematika. Jika sekarang acara diulur lagi dengan acara memesan lotek, ditambah acara panggilan itu sendiri tentu ia bakal ketinggalan ulangan.
“Tapi setelah istirahat ini mau ulangan Bu.”
“Iiiih…. hanya sebentar. Paling juga sepuluh menit. Nanti setelah kamu beli lotek, baru ke yang inti. Ibu lapar niiih….”
Hari ini benar-benar merupakan hari yang penuh dengan hal-hal yang membuat hati Zaniar dongkol. Pagi-pagi di rumah ia menendang baskom air, sampai di kelas LKS-nya jadi rebutan untuk disontek, guru piket telah berbohong, yang terakhir Bu Yati malah menyuruhnya membeli lotek. Namun gadis itu tak dapat berbuat apa-apa. Dengan langkah tergesa-gesa ia pergi ke kantin lotek Bi Marni.
Warung Bi Marni ramai pembeli, makanya mau tidak mau Zaniar harus mengantri. Jadilah setelah sekitar lima belas menit Zaniar baru kembali. Sampai di ruangan bendahara, yang dicari tidak kelihatan. Pintunya dikunci. Zaniar mengeluh. Ingin rasanya ia membanting piring dipegangnya. Ketika ada yang lewat Zaniar buru-buru bertanya.
“Pak… maaf…. saya mau ke Bu Yati, tapi pintunya ditutup. Barangkali Bapak melihatnya.”
“Tadi ke ruang guru. Tunggu saja sebentar.”
Lima menit Zaniar menunggu sambil berdiri memegang piring berisi lotek, akhirnya yang ditunggu datang juga. Zaniar menghela nafas.
“Lama ya?”
“Lama bu. Saya mau ulangan.”
“Eh sini masuk saja. Sebentar saja. Ulangan bisa susulan.”
“Ah ibu … malas susulan Bu.”
“Sudaaah… jangan protes, cuma sebentar kok!”
“Ya Bu. Ini loteknya Bu.”
“Ya terimakasih. Kita bicara santai saja ya … maksudnya ibu sambil makan.”
“O silakan Bu.” kata Zaniar yang memang berada di pihak yang lemah. Bagaimanapun kesalnya gadis itu menuruti kata-kata Bu Yati yang sudah mulai makan lotek.
“Kamu tahu kenapa kamu dipanggil?”
“Sudahlah Bu. Langsung saja kenapa saya dipanggil Bu …. banyak waktu terbuang untuk basa-basi!”
“Oooo bengar-bengar … kata huru-huru laing.. hamu ini anak yang suka frotes.” kata Bu Yati yang di awal kalimatnya tidak jelas lantaran mulutnya penuh lotek.
“Tapi protesnya proporsional Bu.”
“Maksudnya?”
“Kan dalam pelajaran bahasa Indonesia telah diajarkan bagaimana menggunakan kalimat yang efektif dan efisien. Saya mengatakan yang gamblang, ibu malah mengatakan protes. Katanya yang dipelajari harus diamalkan.”
“Iya benar, tapi itu ada tempatnya. Kamu ke sini karena ada masalah.”
“La iya masalahnya apa Bu?”
“Masalahnya tambah satu lagi, kamu tidak sopan diajak bicara dengan orang tua.”
“Bu, saya juga minta dihormati. Saya sudah katakan pada ibu kalau waktu istirahat saya cuma setengah jam, untuk jalan empat menit, untuk beli lotek lima belas menit, sekarang malah ibu seperti marah ke saya. Saya mau ulangan Bu.”
“Kamu tidak mau saya panggil?”
“Saya sudah sejak dua puluh menit yang lalu menghadap ibu!”
“Tapi kamu malah tidak sopan.”
“Ya sudah Bu, kalau memang saya salah, saya minta maaf. Dan sekali lagi, untuk kali ini saya minta ijin, karena waktunya tinggal lima menit, saya mau kelas mempersiapkan ulangan jam kelima. Permisi Buuu…..”
“Zaniaaaar!” teriak Bu Yati seraya menggebrak meja.
Gadis itu tidak peduli pada teriakan Bu Yati. Bahkan ketika perempuan separuh baya itu mengejarnya hingga pintu, Zaniar tetap tidak menggubrisnya. Bu Yati hanya bisa mengumpat.
“Dasar anak miskin! Belagu pula!” kata Bu Yati agak keras.
“Zaniar tidak belagu Bu!” tiba-tiba dari belakang terdengar suara berat. Bu Yati kaget.
“Pak Nanto?”
“Ya. Saya wali kelasnya Zaniar. Saya tahu dia, saya rasa ia tidak belagu. Tidak sedang meremehkan siapa-siapa.”
“Pak Nanto tahu kasusnya apa?”
“Kalau ke Bu Yati pasti urusannya uang.”
“Nah itulah. Dia itu sudah menunggak enam bulan. Kepala sekolah sudah berpesan ke saya, dana BKM untuk Zaniar sudah terlalu banyak. Sejak ia kelas sepuluh. Sekarang mau dioper ke anak lain dulu.”
“Oooo….. begitu. Tapi mestinya ibu yang bijak sedikit. Kalau anak itu mau diberi berita yang menyedihkan, jangan ibu marah-marahin.”
“Biar saja!”
“Ini lingkungan pendidikan Bu. Kita harus tahu psikologis anak.”
“Aaaah sudahlah Pak, jangan ceramah. Saya ini lebih tua daripada Pak Nanto.”
Pak Nanto hanya menghela nafas mendengar kata-kata Bu Yati. Tak ada gunanya ia melanjutkan berdebat dengan perempuan itu. Wali kelas Zaniar yang satu ini memilih meninggalkan Bu Yati. Dalam hatinya membenarkan laporan dari anak-anak, bahwa memang bendahara sekolah Bu Yati ini orangnya judes. Bahkan kata anak-anak sangat menyebalkan.
“Paaak…..Pak Nanto…..!” teriak Bu Yati memanggil wali kelas itu.
“Ada apa Bu?”
“Nanti tolong beritahu Zaniar, tunggakannya lima bulan. Sebab dana BKM-nya sudah diberikan ke siswa lain.”
“Ya, yaaaa…. nanti saya sampaikan.” Kata Pak Nanto sambil beranjak pergi.
“Kalau tetap tidak dilunasi nanti akan dikeluarkan!”
“Yaaaa…. hah? Apa?!” Pak Nanto berhenti. Laki-laki berbalik menatap Bu Yati.
“Kata siapa?”
“Pak Haji La-yang!” kata Bu Yati mengeja nama kepala sekolah.
“Hmh….. ya…. yaaa…. “
Pak Nanto menghela nafas panjang, kemudian meninggalkan Bu Yati yang tersenyum sinis penuh kemenangan. Wali kelas Zaniar itu bingung. Tadinya ia bermaksud mengingatkan Zaniar perihal persiapannya mengikuti olimpiade matematika, namun kali ini tampaknya ada masalah yang lebih besar. ***
-------------------------------------------------------- ( Bersambung )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H