***
Lima tahun berlalu.
Kampus Bulak Sumur di hari Minggu tampak lengang. Hanya tampak beberapa mahasiswa yang sengaja melewatkan hari libur di kampus. Ada pula di beberapa tempat tampak kegiatan semacam belajar bersama di rerumputan bawah pohon besar, ada yang berkerumun mengadakan mentoring.
Ini adalah waktu setelah dua semester mengambi program magister bagi Erika. UGM merupakan pilihan setelah lulus S1 dari Unpad. Termasuk dalam programnya adalah agar tak terlalu jenuh dengan suasana Jatonangor – Majalengka. Dan memang benar. Majalengka Yogyakarta menjadi demikian banyak memberi pengalaman. Naik kereta api menjadi pengalaman pertama ketika harus berangkat ke Yogyakarta dulu.
Bahasa juga demikian, baginya bahasa Jawa yang semula masih dirasakan asing semakin hari semakin akrab di telinganya. Termasuk ketika teman-teman satu kos dan di kampus memanggilnya dengan sebutan Mbak , Mbak Erika. Dulu telinganya terasa risih, tetapi sekarang sangat nyaman. Malioboro? Kapan ia suka, tinggal panggil becak. Borobudur? Dekat. Kraton? Sama saja. Parangtritis? Beberapa kali.
Ketika melihat utara? Puncak Merapi dan Merbabu. Kadang-kadang jika jiwa pendakinya muncul, ia suka memandangi ke arah itu. Puncak itu tampak seperti melambaikan isyarat kepada dirinya untuk mendakinya.
“Maaf Mbak …. emmm…. “ ada suara menyapa. Erika menoleh.
“Emm… iya… iyaa….. aaa….”
“Er….. Erika? Erika?”
“Oooh…. Kkkaaa… Ilham?”
“Erikaaa….. oooohhh!”