[caption caption="armstronggarden.com"][/caption]
Sejak kantin berdiri di tengah-tengah area sekolah, keadaan banyak berubah. Jika pagi bau harum masakan sudah terasa hingga menyusup ke kelas-kelas di depannya. Bahkan jika suasana sedang belajarpun harum nakal itu masih suka lewat, sehingga kadang guru dan siswa saling berpandangan, kemudian tertawa. Senyampang ada harum gratisan! Kata beberapa guru yang suka humor. Siswa pun menimpalinya dengan tertawa. Padahal tidak tahu apa arti “senyampang”.
Berseberangan dengan kantin, taman sekolah telah direnovasi sebulan yang lalu. Taman yang dulu tampak tidak terurus, kini dengan sentuhan kepala sekolah seorang wanita, menjadi berubah. Nyaman dilihat.
Suatu sore. Gerimis lembut masih menyiram Majalengka.
Di depan kelas XII MIPA 4 seorang gadis berdiri membawa bibit bunga dengan daun panjang menjari. Di tangannya ada pula sebilah pisau kecil. Perlahan kaki itu melangkah tak mempedulikan gerimis yang membasahi tubuhnya. Melangkah batas taman, ia menuju ke tengah kemudian jongkok bersedeku menggali tanah berumput. Setelah dirasa cukup, tangannya membuka polybag hingga tampak akar-akar bibit bunga yang dipegangnya. Beberapa saat kemudian bibit bunya itu telah tertanam dengan rapi. Gadis itu tampak puas. Suasana gerimis dirasakan sangat membantu menyegarkan tanaman baru.
“Namamu kini Erika … amarilys. Indah sekali, E..ri..ka A..ma..ri..lys. Jadilah kamu bunga yang indah. Hanya ini kenang-kenangan hidup yang dapat aku persembahkan kepada sekolahku saat ini. Erika akan tetap menyatu dalam dirimu amarilys. Simbol diriku yang akan tetap menyatu dengan SMA ini, SMAN 1 Majalengka! Cepatkah berbunga. Semoga sebelum Ujian Nasional kamu sudah menampakkan cantikmu ….” Kata gadis itu seperti berbicara dengan bunya yang baru ditanamnya.
Gadis bernama Erika Risva Rahayu itu basah kuyup. Ia tidak peduli. Sekitar lima menit ia masih berdiri di tengah taman baru. Hingga akhirnya ia beranjak ketika penjaga sekolah mengingatkannya bahwa waktu sudah terlalu sore. Dalam hatinya ia memasang niat agar tak ada yang tahu apa yang ia lakukan, termasuk kepada teman-teman dekatnya juga tidak.
Sejak ia menanam bibit bunga amarilys di taman depan kelas, Erika lebih rajin berangkat ke sekolah. Jarak yang cukup jauh dari rumahnya di kota kecil Maja, sekarang tak menjadi halangan. Ada pemberi semangat baru menjelang waktu-waktu akhir di SMA. Ia menjadi terbiasa datang ke sekolah sekitar pukul 06.00-an. Tidak seperti biasanya, ia biasa datang sekitar lima menit menjelang bel masuk.
Astaghfirullah! Erika memekik.
Di hari keempat gadis itu kaget. Bibit bunga yang ia tanam ternyata tidak sendirian. Jarak sekitar satu jengkal di sebelahnya terdapat bibit bunga yang sama. Ukurannya hampir sama. Warna hijau gelapnya juga hampir sama.
Perlahan ia mengelilingkan pandangannya ke sekitar. Sepi. Mungkin waktu itu ia yang datang paling pagi. Perlahan ia berjalan menuju bibit-bibit bunga itu. Matanya melihat di sekitar bibit baru, tanah seperti baru. Kalau tidak kemarin sore, pasti malam hari. Perlahan jemari gadis itu meraba helai-helai daun. Ada empat helai. Sama dengan banyaknya helai daun bibit amarilys miliknya.
Ada rasa penasaran yang besar melihat fakta semacam itu. Siapa yang menanam bibit itu? Menuruti rasa penasaran, ia melacak ke tiga buah kios bunga yang ada. Di kios dekat kantor kependudukan, ia menanyakan, namun taka da titik terang. Di kios bunga Panglayungan, juga demikian, nihil. Bahkan yang jaraknya lumayan jauh, di Babakananyar Kadipaten pun ia kejar, namun sama. Tak ada hasil. Akhirnya iapun melupakan keinginan untuk mengetahui siapa yang menanam bibit bunga itu.