“Aaah dasar anak gunung!”
“Apa? Ngomong apa kamu?”
“Anak gunung! Maksudnya, anak yang suka mendaki gunung! Jangan salah paham! Tuuuh sama geng-mu, Ayu, Ainun, Herlin …. sama-sama pemanjat gunung! Oke?”
“Awas ya! Bukan pe-man-jat, tapi pen-da-ki! Awas , salah ngomong aku ajak kamu balap naik Ciremay! Kalau kamu kalah bayar lima ratus ribu!”
Diancam seperti itu Ilham tertawa terbahak-bahak. Erika mendorong Ilham dengan kesal. Kemudian gadis itu berlari menuju kelasnya.
***
Pukul enam seperempat pagi Erika berlari-lari kecil dari ruang kelas yang tepat berada di depan kantin. Jarak sekitar dua puluh lima meter ditempuh beberapa detik sambil melewati taman sekolah yang baru selesai direnovasi. Tak lupa ia berbisik menyapa sepasang amarilys kembar. Gadis ceria itu merasakan lapar karena belum sempat sarapan. Namun ketika kaki belum menginjak lantai kantin, ada yang berteriak.
“Dompetmu jatuuuh!” cukup kencang teriakan itu. Erika berhenti. Dilihatnya Ilham, teman sekelasnya tengah makan.
“Dompetku?” tanya Erika bertanya kepada yang berteriak.
“Iya itu barangkali, tapi aku melihat ketika dompet itu meloncat dari saku rokmu!”
“Wueee! Ngawasin aku terus ya?” kata gadis itu seraya berbalik dan mengambil dompet yang terjatuh. Ketika dilihat, memang dompet itu miliknya.