Ketika pembawa acara membacakan pengumuman itu, hati Hilal sudah hancur. Saat itu dirinya sudah merasa tak diperhatkan oleh siapapun. Tak ada yang peduli dan mengerti bahwa gadis yang siap dinikahkan seharusnya dengan dirinya.
Beberapa jenak ketika semuanya telah siap, mempelai perempuan diminta untuk meminta ijin ayahnya menikahkan dirinya.
“Ayahanda, hari ini, ananda mohon keridhoan ayah … untuk…. un …. Untuk menikahkan saya dengan calon suami saya ….. demi men….men…. mencari keriii…keridhoan Allah ….. hhh…hhhh…. “ calon mempelai perempuan tak sanggup untuk meneruskan kalimat permintaan kepada ayahnya untuk dinikahkan. Gadis itu menangis. Beberapa tetamu ikut terharu, bahkan ada yang berlinang air mata. Mata Hilal terasa panas. Bibirnya dikatubkannya lekat-lekat.
Karena inti permintaan anaknya telah tersirat, maka ayah Topaz yang memegang microphone menikahkan putrinya:
“Hari ini ayah akan menikahkanmu wahai putriku yang cantik….” kata ayah Topaz . Beberapa sejenak kemudian mengulurkan tangan untuk menjabat tangan calon menantunya itu. Ketika keduanya telah berjabatan tangan, susana hening.
“Wahai Ahmad Abdul Fatah, saya nikahkan engkau dengan anakku Safira Cahyaning Pertiwi dengan maskawin sehelai kerudung sutera berwarna biru…..”
“Aku terima, nikahnya Safira ….. aku ter… aku terima nikahnya Safira Cahyaning Pertiwi dengan maskawin sehelai kerudung sutera berwarna biru….. dibayar tunai!”
Sah! Sah! Saaaahhh!
Gemuruh hati Hilal. Safira? Yang menikah adalah Safira. Benarkah Safira? Laki-laki itu menyentuh pundak orang di dekatnya.
“Tadi siapa yang menikah Pak?” tanya Hilal dengan gemetar.
“Ahmad … Ahmad Abdul Fatah…..”