“Lah iya itu, ituuu …. Aku ketua yayasan, Topaz jadi ibu ketua …. “
“Kakak bercanda?”
“Aku tidak bercanda Topaz, aku hampir terlambat Topaz. Di saat genting dalam hitungan detik, bahkan aku hampir tak menyadari, kebesaran Allah datang dalam hidupku Topaz ....Aku tak ingin kali ini terlambat sungguhan. Aku mencintai Topaz sudah lama ….”
Gadis itu menunduk. Ia sangat paham apa yang diharapkan Hilal. Misteri Safira yang semula diduga menjadi penghambat keduanya untuk saling menyatakan sikapnya, kini terkuak sudah. Safira sudah menikah. Apa lagi? Pikir Hilal.
“Bulan depan saatnya Topaz. Aku serius. Aku ingin mengagumi Aini tidak hanya dalam simbol. Tak ingin menyanjung Topaz hanya dalam mimpi. Tak ingin bercanda dengan Tri Astuti hanya dalam angan-angan ….. aku serius Topaz……. umurku sudah dua puluh delapan tahun. Sudah layak untuk memiliki seorang istri, apalagi calon istrinya …. Masya Allah …… makhluk yang sangat indah dan mengagumkan.”
“Rayuan gombal ….”
“Serius Topaz, bulan depan Topaz akan tahu bagaimana dalamnya kekagumanku selama ini pada gadis yang satu ini memenuhi buku harianku.”
“Kakak mencatatnya?”
“Ya , aku selalu mencatatnya, sebab aku sudah yakin, bahwa Allah akan mengirimkan Topaz untuk aku ….. bukan untuk yang lain."
"Kaak..... aku jadi ingin.... ingin ..... " kata-kata Topaz tertahan. Air matanya berlinang.
"Ingin apa?"