Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel: KYAI KERAMAT (4)

2 Mei 2014   18:04 Diperbarui: 27 Agustus 2018   22:53 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Ya ada Sang Kyai. Jadi kata orang-orang kotak amal di dalam pesantren jadi dobel….. “

Merah muka Sang Kyai demi mendengar penuturan penjaga makam yang membuka kalimat begitu tanpa rasa bersalah sedikitpun. Sementara itu tiba-tiba Kyai Soleh Darajat meminta ijin keluar sebentar. Beberapa saat kemudian Kyai Soleh Darajat kembali ke tengah pertemuan.

 Sang Kyai menekan perasaannya yang bergejolak. Yang tidak bisa ditutupi adalah rasa malunya kepada yang hadir, sebab kata-kata Wak Wardan seolah-olah mencibir dirinya. Memang benar, atas saran beberapa santri dan pengasuh Sang Kyai memperbolehkan membuka kotak amal untuk kemaslahatan pesantren. Tak niat sedikitpun dalam diri Sang Kyai atas apa yang diputuskan. Bahkan selain mereka di panitia pengobatan ada beberapa yang menyodorkan amplop ketika acara pendo’aan air yang dibawa pasien atau keluarga yang sakit. Namun Sang Kyai selalu menolak. Cukuplah kotak amal yang dikelola para santri.

Dengan adanya kegiatan Sang Kyai, kehidupan di pesantren hampir seratus delapan puluh berubah. Ritme kegiatan yang dulu dilakukan, mau tidak mau harus diubah. Hari-hari biasa yang padat dan melelahkan, mencoba diatasi dengan meliburkan pengobatan pada hari Jumat.

“Untuk sementara pertemuan saya anggap cukup dulu. Namun sebelum dibubarkan, saya berpesan pada Wak Wardan. Pertama, saya tunggu jawaban tawaran tinggal di pesantren ini tiga hari lagi. Kedua, Wak Wardan masih diperbolehkan memungut kotak amal di makam keramat, dengan satu syarat jika makam itu benar-benar makam Kyai Solehuddin maka ajaklah orang-orang ke sana untuk mentafakuri kesalihannya. Bukan untuk minta berkah kepada yang sudah wafat. Tapi kalau makam itu hanya karangan Wak Wardan, hanya gundukan tanah kosong atau yang lain, maka laknat Allah akan datang pada Wak. Saya lebih baik keras kepada Wak sekarang ini, mumpung masih ada waktu bertobat jika ada kebohongan. Ingat Wak, kita manusia bakal menghadap Sang Khalik.”

Tubuh Wak Wardan gemetar demi mendengar kata-kata Sang Kyai tentang laknat. Tubuh kurus itu semakin tampak lebih lemah ketika wajah laki-laki tua itu tiba tampak menguning, pucat pasi.

“Silakan Wak Wardan….. mungkin sebentar lagi makam itu akan dikunjungi orang….. “ Kata Sang Kyai mempersilakan laki-laki yang kemudian bangkit dari duduk meninggalkan pertemuan dengan langkah gontai. Mata para yang hadir mengikuti hingga laki-laki keluar dari rumah utama.

“Kasihan Wak Wardan ……. “ Kata Kyai Soleh Darajat membuka suara.

“Ya kasihan.. aku sampai menangis. Aku tidak menyangka kalau di Widodaren, pusatnya pesantren kondang sampai ada warganya yang tidak pernah ke masjid. Tidak pernah shalat. Bagaimana pembinaan para ustad surau kepada lingkungannya? Paling tidak, harus ada laporan bahwa ada warga yang masih butuh bimbingan. Kasihan Wak wardan. Kita berdosa! Saya malu di hadapan Allah SWT.”

Sampai kalimat itu Sang Kyai menunduk. Suasana hening. Tak ada yang angkat bicara.  Kyai Ahmad Hong sangat memahami apa yang menjadi ganjalan dalam diri ayahnya itu.

Pagi itu benar-benar merupakan pagi yang sangat tidak menenteramkan hati Sang Kyai. Namun sebagai orang nomor satu, ia masih mempunyai keyakinan bahwa segala apa yang terjadi di Widodaren masih sanggup diatasi dengan pertolongan Allah SWT. Sepeninggal para pengasuh, Sang Kyai melayangkan pandang ke arah halaman masjid An Najm.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun