Tujuan Sang Kyai mengumpulkan pengasuh dan Wak wardan memang akan membahas masalah ini. Namun ternyata pembicaraan laki-laki itu justru telah mengarah ke sana tanpa diminta.
“Ahhh… nganu.. tidak. Bukan, bukan.” Wajah wak Wardan tampak gugup. Sang Kyai memandang dengan tajam mata laki-laki tua itu.
“Makam keramat apa Wak?” Tanya Sang Kyai mengulangi.
“Aaa…. Kyai Sendang Kawi.”
“Adakah makam keramat di Widodaren? Di mana ?”
“Ada. Dekat pohon kweni, sebelum masuk desa dari arah timur. Dekat belik kecil.”
“Para ustadz…. apakah benar dekat pohon kweni itu ada makam? Ustadz Azis yang asli Widodaren, benarkah ada makam di sana?”
“Aaa….aa… tempatnya jarang dilalui orang Sang Kyai. Saya sendiri ketika masih kecil jarang bermain kemana-mana semenjak masuk pesantren ini. Jadi mohon maaf Sang Kyai, saya malah tidak tahu.” Jelas yang ditanya. Sementara itu Wak Wardan merasa lega karena orang asli Widodaren sendiri tidak hafal.
“Begini Wak Wardan… saya hanya mau minta penjelasan Wak Wardan atas laporan santri saya kemarin. Katanya sekarang makam Kyai Sendang Kawi banyak dikunjungi orang?”
“Aaa… nganu…. be…betul Sang Kyai.”
“Siapa sesungguhnya Kyai Sendang Kawi itu? Tolong ceritakan.”