Seri 4 : BERJALAN DI ATAS BARA
Ba’da shubuh Sang Kyai mengumpulkan para pengasuh untuk membahas temuan Abu Najmudin dan Kyai Ahmad Hong. Biasanya pertemuan rutin diadakan di serambi masjid seusai kuliah shubuh, namun kali ini di dalam rumah utama. Belum ada yang tahu mereka diundang untuk apa. Kyai Soleh Darajat mungkin yang paling penasaran, sebab ia ditugasi menyuruh santri menjemput Wak Wardan menghadap. Laki-laki yang paling tua di jajaran pengasuh pesantren hanya mencoba menghubung-hubungkan mengapa laki-laki tua penjaga makam itu dipanggil.
Setelah semuanya kumpul, Sang Kyai memulai membuka acara.
“Pagi ini yang menjadi fokus pembicaran kita adalah Wak Wardan.” Kata Sang Kyai. Semua mata tertuju kepada laki-laki tua. Umurnya sekitar enam puluh tahun cukup untuk dipanggil “Kakek” , tetapi orang-orang besar kecil tua muda memanggilnya “Wak”.
“Saya Sang Kyai, saya salah apa? Apa istri saya melaporkan bahwa pesantren ini pernah saya katakan brisik ketika malam-malam gemuruh suara takbir?” Tanya Wak Wardan. Dari wajahnya teramat ketakutan.
“Lho? Si Wak pernah mengatakan pesantren ini brisik?”
“Pernah. Waktu malam-malam gaungnya sampai sayup-sayup di gubug saya. Nganu…..nganu… ketika malam-malam ada santri berlarian.”
“Berlarian kenapa?”
“Ketika Sang Kyai diangkat menjadi Nabi.”
“Astaghfirullaaaaaah……!” Sang Kyai kaget, “….. istighfar Wak. Kapan saya diangkat menjadi Nabi?”
“Sebulan yang lalu. Waktu Sang Kyai menyembuhkan orang bisu. Orang kampung kan mengatakan Sang Kyai adalah nabi baru.”