Mohon tunggu...
Diaz Abraham
Diaz Abraham Mohon Tunggu... Jurnalis - Penyesap kopi, pengrajin kata-kata, dan penikmat senja

Peraih Best Feature Citizen Jurnalis 2017 dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) | Sisi melankolianya nampak di Tiktok @hncrka | Narahubung: diazabraham29@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta di Tengah Api "98"

20 Mei 2016   17:59 Diperbarui: 20 Mei 2016   19:47 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah kejadian itu masyarakat mulai berani melawan pemerintahan. Penjarahan dan kekerasan semakin terang-terangan di jalanan. Tanggal 13 Mei Aku melihat seorang perempuan keturunan menjadi korban pelecehan oleh orang pribumi. Aku tidak berani mengusir mereka. Asku hanya berani melempar mereka dengan batu dari kejauhan karena semua massa menjadi emosi akibat pembunuhan empat demonstran tadi.

Sebuah toko besar menjadi salah satu saksi bisu kegilaan warga. Mereka menjarah toko itu, polisi tidak bisa melakukan apapun. Satpam toko pun ikut dipukuli karena menghalangi warga yang ingin merampas toko. Kali ini demonstrasi malah sering di lakukan oleh warga bukan lagi dari kalangan akademisi, mungkin mental mereka telah jatuh akibat penembakan misterius kemarin.

Kegilaan warga semakin tak terkendali, laporan mengenai penjarahan semakin meningkat. Polisi-polisi hanya bisa diam tidak melakukan apapun. Aku yang sedang mencatat kejadian ini sedikit ngeri dengan apa yang ku lihat. Malah salah satu warga yang ku temui dengan lantangnya mengatakan “gua capek miskin, mending ngejarah dari toko orang yang udang ngejarah harta negara gua”. Aku terkejut dengan kata-katanya.

Malam tanggal 14 aku mendapat kabar soal polisi yang mati akibat insiden di trisakti. Aku mengajak Mikel ke rumah duka, tetapi dia enggan. Dia ingin pergi ke tanah abang pusat grosir yang diserang oleh warga. Akhirnya hari itu aku berpisah dengannya.

Polisi yang tewas itu bernama Bakri Umar, dia berpangkat Bripda. Isak tangis menghiasi rumah duka. Ternyata dia adalah anak dari dua bersaudara. Bakri adalah anak yang paling bontot dan ia akan segera menikah pada Bulan Oktober nanti. Aku sangat menyayangkan kematiannya karena ternyata dia telah mempersiapkan semuanya dengan matang untuk moment bahagianya dalam hidup.

Tetapi sang calon mempelai belum datang juga, padahal aku ingin sekali mewawancarai sang calon. Tiba-tiba teriakan terdengar dari luar rumah. Ada seorang perempuan yang dibopong dua orang temannya menangis sangat sedih. Muka wanita itu memerah, dia lemas tak berdaya melihat pria pujaan hatinya terbujur kaku ditengah balutan kain putih. Ternyata wanita itu adalah Susi adik ku. Dia mengatakan pada ku, mas kamu sudah bertemu dengan Umar? Tanyanya. Aku menjawa ia aku melihatnya, memangnya kenapa? Dia adalah orang yang ingin ku kenalkan karena kelak dia akan menjadi adik ipar mu mas jawab Susi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun